top of page

DIALEKTIKA #7 “Dialektika: #KaburAjaDulu – Cerminan Kekecewaan atau Strategi Bertahan?”


Nama Pemantik:

  1. Kezia Alicia

  2. Yunidar Dyah

Nama Penanggap:

  1. Kezia Alicia

  2. Rizky Ayu Chandra Dewi Rinjani Putri

  3. Maharani Fadia Rhunnysa

  4. Shafira Nurzalfa Istiasari

  5. Nadya Khalifa Prastawa

  6. Vincencius Jovan Rubijanto

  7. Nacyta Clearesta

  8. Yunidar Dyah

  9. Adilah Atha Ramadhani Safri

  10. Jeremy Kevin Parlindungan Silaban

  11. Salsabila Zita Amalia

  12. Nabiel Harits Pratama

  13. Frederik Jonathan Alviano Siahaan

Nama Reviewer:

  1. Kezia Alicia

  2. Gerald Xaverius Chandra


A. Pendahuluan

Belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu mencuat di berbagai media sosial sebagai respons terhadap kondisi sosial-politik dan ekonomi Indonesia, khususnya dari kalangan muda. Fenomena ini menyuarakan narasi bahwa generasi muda lebih memilih untuk "kabur" ke luar negeri dibandingkan membangun bangsa dari dalam. Namun, apakah ini benar-benar bentuk pengabaian nasionalisme, atau justru respons rasional atas realitas yang tidak berpihak?


B. Isi Diskusi

  1. Respons Realistis dari Institusi Pendidikan dan Pemerintah

Menurut Maharani Fadia, institusi pendidikan maupun pemerintah kemungkinan besar tidak akan memberikan respons yang signifikan terhadap tren ini. Ia menyebut bahwa penggunaan visa pendidikan untuk mencari pekerjaan di luar negeri adalah praktik lama yang kini hanya diberi label baru. Realitas ini menunjukkan lemahnya antisipasi kebijakan terhadap dinamika mobilitas anak muda.

Sementara itu, Kezia Alicia menyoroti kurangnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia untuk mewadahi talenta muda. Hal ini memaksa banyak anak muda, bahkan sejak lulus SMA, untuk memilih studi dan karier di luar negeri. Ia menilai perlunya introspeksi atas sistem pendidikan nasional yang belum mampu menjadi daya tarik.


  1. Ketimpangan dan Penyalahgunaan Program Pendidikan

Fenomena penyalahgunaan program seperti Indonesia International Student Mobility Awards (IISMA) juga menjadi sorotan. Vincencius Jovan menyebut bahwa program ini ditiadakan salah satunya karena dominasi peserta dari kalangan berprivilege yang justru menjadikannya ajang liburan, bukan pengembangan akademik. Nacyta Clearesta menambahkan bahwa persepsi bahwa hidup di luar negeri lebih sejahtera turut mendorong penyalahgunaan ini. 

Namun, Maharani Fadia dan Rizky Ayu melihat akar permasalahan ini tidak sepenuhnya pada individu, melainkan juga pada sistem seleksi dan kebijakan pemerintah yang justru memberi ruang lebih besar kepada kalangan berprivilege. Shafira Nurzalfa menambahkan bahwa kondisi pendidikan saat ini justru memberikan beban alih-alih insentif, seperti lambatnya pencairan dana bantuan dan kenaikan UKT yang tidak rasional.


  1. Nasionalisme vs Kesejahteraan

Menanggapi isu nasionalisme, Maharani Fadia menyampaikan bahwa manusia cenderung mencari hidup yang lebih layak. Ia menekankan bahwa jika pemerintah mampu menyediakan fasilitas yang memadai, maka semangat nasionalisme akan muncul dengan sendirinya. Salsabila Zita dan Vincencius Jovan setuju bahwa keputusan untuk pergi ke luar negeri tidak selalu berakar pada ketidakcintaan terhadap negara, tetapi lebih kepada upaya memenuhi hak dasar yang tak kunjung diberikan.


  1. Implikasi terhadap Investasi dan Daya Saing

Vincencius Jovan dan Rizky Ayu mengingatkan bahwa menurunnya tenaga kerja berkualitas bisa berdampak pada pandangan investor terhadap Indonesia. Jika high-skilled workers terus "kabur", maka investor akan berpaling ke negara lain. Maharani Fadia menyoroti bahwa Indonesia masih menarik investor karena murahnya biaya tenaga kerja, serupa dengan India atau Sri Lanka—namun India mulai unggul karena perbaikan kebijakan dalam negeri.

Nabiel Harits menambahkan bahwa political environment dan kepastian hukum adalah faktor utama yang dinilai investor, sedangkan Jeremy Kevin menyatakan bahwa selama tenaga kerja murah tersedia, investor masih akan melihat Indonesia sebagai pasar potensial.


  1.  Pendidikan atau Ekonomi: Mana yang Harus Didahulukan?

Pertanyaan klasik ini memunculkan argumen menarik. Adilah Atha berpendapat bahwa pendidikan dan ekonomi harus berjalan beriringan karena saling mempengaruhi. Namun, Vincencius Jovan memilih ekonomi sebagai prioritas awal karena pendidik berkualitas hanya bisa lahir dari kondisi ekonomi yang layak. Gaji guru yang rendah dan kondisi kerja yang buruk membuat pendidikan sulit berkembang. Kezia Alicia menyimpulkan bahwa kesejahteraan—salah satunya melalui ekonomi—adalah dasar untuk memulai perubahan.


C. Penutup & Kesimpulan

Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar bentuk pelarian atau pengabaian terhadap bangsa. Ini adalah refleksi kritis dari kekecewaan kolektif terhadap sistem yang gagal memenuhi harapan dan kebutuhan generasi muda. Alih-alih menghakimi, fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dan institusi pendidikan untuk melakukan pembenahan mendasar.

Kesempatan dan kesejahteraan adalah 2 (dua) hal yang terus dicari insan muda. Ketika keduanya lebih mudah dijangkau di luar negeri, maka “kabur” menjadi pilihan rasional, bukan sekadar emosional. Oleh karena itu, untuk menahan eksodus ini, negara harus kembali merebut kepercayaan generasi mudanya dengan membangun sistem pendidikan yang inklusif, menciptakan lapangan kerja yang layak, serta menghadirkan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Jika perubahan tidak segera dilakukan, maka #KaburAjaDulu bukan hanya akan menjadi tagar viral, tetapi juga menjadi cermin kegagalan sebuah bangsa dalam memelihara masa depannya.


Comments


Recent Posts
Archive
Lambang UGM-putih.png
  • Instagram
  • Facebook
  • X
  • Youtube
  • LinkedIn
  • TikTok
  • Spotify

Faculty of Law Universitas Gadjah Mada | Jl. Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Sleman, DI Yogyakarta, Republic of Indonesia 55281

Copyright © 2024 Asian Law Students' Association Local Chapter Universitas Gadjah Mada. All Logos & Trademarks are the property of their respective holders.

All Rights Reserved. All Systems Operational.

bottom of page