DIALEKTIKA #8 “Dialektika: Kritik di Ruang Publik di Era Kontemporer”
- alsalcugm
- Jul 8
- 3 min read
Nama Pemantik:
Gerald Xaverius Chandra
Kezia Alicia
Nama Penanggap:
Elizabeth Jessica Manullang
Fatima Aliyya Raihandra
Gerald Xaverius Chandra
Jeremy Kevin Parlindungan Silaban
Kezia Alicia
Maharani Fadia Rhunnysa
Marecinta Mannamagnamakna Wardhanu
Nacyta Clearesta
Syafiq Ghazi
Vanya Regina
Vincencius Jovan Rubijanto
Nama Reviewer:
Gerald Xaverius Chandra
Kezia Alicia
A. Pendahuluan
Belakangan ini, ramai berita mengenai unggahan seorang mahasiswa dari salah satu universitas negeri ternama di Indonesia yang memuat meme tidak senonoh dua tokoh publik hasil kreasi AI (Artificial Intelligence). Unggahan tersebut menuai kontroversi di berbagai media sosial dan mendapat sorotan dari pemerintah yang kemudian menangkap mahasiswi tersebut dengan jeratan UU ITE. Penangkapan tersebut mendapatkan reaksi keras dari kalangan yang beranggapan bahwa tindakan mahasiswi tersebut merupakan upaya menyuarakan keresahan dan bentuk dari kebebasan berekspresi. Namun, apakah ini benar-benar bentuk dari kebebasan berekspresi, atau justru ujaran kebencian?
B. Isi Diskusi
Ujaran Kebencian vs. Kritik Konstruktif Terhadap Pemerintah
Menurut Jeremy Kevin, terdapat perbedaan dalam cara penyampaian ujaran kebencian dengan kritik konstruktif yang memperhatikan norma kesusilaan dan dari sisi substansi yang lebih mengarah pada saran untuk perbaikan. Ia berpendapat bahwa tindakan mahasiswi tersebut termasuk ke dalam Pasal 27.
Hal ini juga disetujui oleh Jovan yang berpendapat bahwa reaksi keberatan terhadap meme yang diunggah oleh mahasiswi tersebut, merupakan reaksi dari perasaan tidak nyaman dan dapat dipahami apabila hal tersebut ditindak.
Sementara itu, Maharani Fadia dan Jessica Manullang berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan oleh mahasiswi tersebut merupakan salah satu bentuk dari resistensi masyarakat terhadap persoalan politik yang terjadi di Indonesia. Terlebih, Jessica menyoroti kriminalisasi dan pembungkaman yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kritik dan aktivisme.
Proses Hukum yang Timpang
Fenomena penegakan hukum yang timpang yang salah satunya terjadi pada penegakan UU ITE terhadap kritik pemerintah dan pada kasus revenge porn menjadi sorotan. Proses hukum pada kasus kritik terhadap pemerintah lebih cepat dibandingkan kasus lainnya, Fatima Aliyya menyebut bahwa hal ini terjadi karena adanya kepentingan pemerintah untuk menjaga citra untuk kepercayaan masyarakat. Ia juga beranggapan bahwa kurangnya penanganan pada kasus lain, kasus korupsi misalnya, merupakan hasil dari kepentingan penguasa di dalam pemerintahan yang terlibat dalam korupsi tersebut. Mereka tidak ingin penegakan hukum yang semestinya untuk berjalan dan citra pemerintah menjadi buruk dan kondisi negara menjadi tidak stabil.
Gerald Xaverius menambahkan bahwa proses penanganan korupsi memerlukan proses yang panjang dan proses identifikasi pelaku korupsi dari kalangan elit lebih sulit dijalankan. Kezia Alicia menyoroti tindakan pejabat pemerintah yang mengagungkan citra dibandingkan kinerja dan Fatima Aliyya beranggapan hal ini terjadi karena masyarakat masih memiliki pemahaman yang kurang mengenai politik sehingga tidak kritis terhadap kinerja pemerintah.
Pemerintah Represif vs. Masyarakat Apatis
Menanggapi tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, Jeremy Kevin menyampaikan bahwa pemerintah yang represif sama bahayanya dengan masyarakat yang apatis. Masyarakat yang apatis tidak melakukan pengawasan terhadap pemerintah yang berpotensi pada penyelewengan dan berujung pada ketidakstabilan negara. Tindakan pemerintah yang represif juga akan menimbulkan ketidakstabilan apabila ruang-ruang untuk kritik tidak diberikan dan menimbulkan gejolak pada masyarakat.
Penegakan UU ITE
Vincencius Jovan dan Fatima Aliyya mengingatkan bahwa penerapan dalam penegakan hukum menggunakan UU ITE harus memperhatikan kesesuaian pasal terhadap kasus. Fenomena revenge porn sperti yang telah disebutkan pada diskusi awal, lebih cocok menggunakan pengaturan pada UU TPKS.
Kezia Alicia menambahkan bahwa UU ITE digunakan dengan melihat keadaan kasus, meskipun UU sudah objektif tetapi kembali pada aparatur penegak hukum yang menilai undang-undang tersebut secara subjektif atau tidak.
C. Penutup & Kesimpulan
Fenomena kritik terhadap pemerintah di ruang publik dilakukan sebagai bentuk resistensi masyarakat terhadap isu dan kondisi sosial dan politik di Indonesia. Pemerintah perlu memperhatikan adanya ketimpangan dalam proses penegakan hukum dan maraknya kriminalisasi yang terjadi terhadap aktivisme, terlebih pada kasus kritik yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pemerintah.
Sikap abai pemerintah terhadap urgensi penegakan hukum pada kasus yang memiliki dampak signifikan seperti kasus korupsi dan revenge porn serta sikap represif terhadap kebebasan berpendapat masyarakat dapat memicu ketidakstabilan. Tindakan penanganan proses kritik seharusnya dilakukan dengan memperhatikan pendekatan alternatif sebelum dilakukannya proses pidana sebagai upaya terakhir.
Very insightful post! Choosing the right Carhartt wholesale distributors is important because it ensures access to authentic, durable gear that’s built to handle tough jobs while maintaining consistency in bulk supply.
This discussion was incredibly thought-provoking. The panel did a great job highlighting the delicate balance between freedom of expression and public decency, especially in today’s digital age. The contrast between a government’s need to maintain order and the public’s right to voice concerns is striking. It’s concerning how quickly criticism gets criminalized under the UU ITE while other urgent cases like corruption or revenge porn receive delayed attention.
The point made about a repressive government vs. an apathetic society is so true — both can be equally harmful to democracy. It's essential that society remains vigilant and informed.
As someone studying public ethics, I found this incredibly useful. And for peers in demanding programs like nursing, where time is tight and research-heavy…