top of page

DIALEKTIKA #9 “Dialektika: Meneropong Kasus Bullying Timothy”

ree

Nama Pemantik:

  1. Gerald Xaverius Chandra

  2. Kezia Alicia


Nama Penanggap:

  1. Agnes Khalisa Aurela Adnaputri

  2. Aisha Dyahandini Wiyanto

  3. Albertus Yuda Putra

  4. Amalia Zahratun Nisa

  5. Dewi Ardhita Cahyaningrum

  6. Fairuza Nadhifan Ibnu Herlana

  7. Fatima Aliyya Raihandra

  8. Gerald Xaverius Chandra

  9. Jeremy Kevin Parlindungan Silaban

  10. Kezia Alicia

  11. Maharani Fadia Rhunnysa

  12. Muhammad Akmal Athaullah Hibrizi

  13. Nabil Wong El Arsyasena

  14. Qaisra Alya Safina

  15. Rizky Fredrik Hans Mailoa

  16. Sarah Raudhatul Jannah

  17. Srimega Nurmaya Yohanna

  18. Valen Tantiasari


Nama Reviewer:

  1. Gerald Xaverius Chandra

  2. Kezia Alicia


A. Pendahuluan

Pemberitaan mengenai kasus bunuh diri seorang mahasiswa dari salah satu universitas negeri di Indonesia menghebohkan dunia maya. Terlebih dengan adanya group chat mahasiswa yang berisi lontaran cibiran dan cemoohan terkait peristiwa bunuh diri tersebut, telah bertebaran di sosial media dan menjadi sorotan publik. 


B. Isi Diskusi

  1. Pengalaman Bullying

Diskusi dibuka dengan pembahasan mengenai pengalaman bullying dari peserta. Sarah Raudhatul Jannah menceritakan mengenai pengalaman bullying yang terjadi pada anggota keluarganya, yakni adiknya, yang mengalami perundungan oleh kakak kelasnya. Albertus Yuda Putra juga membagikan peristiwa perundungan yang pernah ia saksikan di sekolahnya. Seorang murid pindahan dari luar pulau yang memiliki kultur berbeda dan dianggap aneh sehingga dikucilkan oleh murid lainnya. Upaya Yuda untuk melaporkan peristiwa bullying tersebut juga memberi imbas buruk kepadanya, sebab ia juga dikucilkan setelah melapor. 


  1. Candaan vs. Bullying

Fenomena bullying berdalih candaan seringkali dirasakan, seperti di lingkungan pertemanan, keluarga, hingga lingkungan pendidikan. Dalam diskusi, Sarah Raudhatul Jannah berpendapat bahwa candaan yang mengarah pada persoalan sensitif dan personal, tidak bisa dikatakan sebagai candaan. Berbeda dengan pendapat Yuda, yang berpendapat bahwa candaan merupakan hal yang subjektif dan tergantung kepada masing-masing individu. Pernyataan ini didukung oleh Fatima Aliyya Raihandra, ia setuju bahwa candaan sangatlah subjektif dan pihak-pihak yang terlibat memiliki batasannya masing-masing, faktor kedekatan juga menjadi penentu.


  1. Bahaya Bullying, Kejahatan?

Nabil Wong Al Arsyasena menilai bullying sebagai tindakan kejahatan yang menyerang mental dan fisik korban. Agnes Khalisa Aurela Adnaputri dan Aisha Dyahandini Wiyantodan setuju dengan pendapat tersebut, mengatakan bahwa bullying memengaruhi dan memberi dampak terhadap suatu individu dan menganggap segala sesuatu yang berlebihan, termasuk candaan adalah hal yang tidak baik. Dewi Ardhita Cahyaningrum juga menambahkan dampak dari bullying yang dalam beberapa kasus menimbulkan masalah kesehatan fisik dan mental, begitu juga Nadhif yang mengatakan bahwa bahkan korban menjadi tidak berani untuk sekolah (bullying dalam ranah pendidikan). Namun, Atha berbeda pendapat dan mengatakan bahwa bullying tidak selamanya masuk ke dalam kategori kejahatan (tindak pidana), melihat dari adanya kemungkinan upaya damai dari pihak yang terlibat. 


  1. Kasus Timothy Anugerah Saputra

Menanggapi adanya kasus bunuh diri seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di Indonesia bernama Timothy, Dialektika #9 ingin mengulik pembuktian hubungan kausal (sebab-akibat) yang sah secara hukum antara tindakan bullying fisik/psikologi yang dialami Timothy dengan kematiannya. Apakah ada faktor lain, seperti kondisi kesehatan bawaan korban yang tidak diketahui? Aisha berpendapat bahwa mungkin ada faktor lainnya, tetapi kemungkinan besar dari bullying, almarhum merasa orang-orang menganggap apa yang ia hal sesuatu yang normal sehingga ia dianggap alay dan berakibat pada dirinya yang merasa dianggap tidak penting. Valen Tantiasari menilai bahwa bullying jadi penyebab utama, bahkan pelaku bullying yang merupakan orang yg tidak terlalu dekat dengan almarhum, bahkan kebiasaan texting menggunakan bahasa baku oleh almarhum  dianggap lucu. Kemungkinan juga terdapat faktor stress skripsi/akademik, yang ditambah dengan adanya tekanan sosial dan tidak adanya “tempat” yang nyaman untuk bercerita sehingga menyimpan semuanya sendiri. Amel menambahkan dapat diduga almarhum kekurangan support  dari teman. 


Hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah keluarga Timothy berpotensi menggugat mahasiswa yang terlibat dalam kasus cemoohan terhadap almarhum pascakematian, secara perdata atau melaporkannya ke ranah pidana? Menurut Srimega Nurmaya Yohanna, bullying terbagi menjadi level rendah dan tinggi. Kalau tinggi bisa dipidanakan dan ada pengaturannya dalam hukum pidana. Ujaran kebencian juga bisa dimintakan tanggung jawab dalam KUHP, bisa dilakukan oleh keluarga apabila ingin mengajukan ke pihak berwenang. Bullying ada yang langsung, maupun tidak langsung. Seperti contoh, pengalaman yang dialami oleh teman Mega, temannya merupakan seorang yang cerdas tetapi memiliki karakteristik khas dalam penggunaan bahasa baku untuk sehari-hari, sehingga teman lainnya secara tidak langsung membicarakan (dengan bisik-bisik atau melakukan impersonate sebagai bahan candaan). Aliyya menilai bahwa tidak ada aturan spesifik yang mengatur tetapi perlu penilaian lebih lanjut kaitan dari tindakan bullying sebelum kematian dengan kematian almarhum, karena bukti yang beredar adalah bullying setelah almarhum meninggal. Hal yang sudah pasti jelas menurut Aliyya adalah adanya cyber bullying. Jeremy Kevin menambahkan bahwa semua bergantung kepada pembuktian, apakah benar terjadi (bukti kuat) atau tidak. Yuda, Gerald, Kezia dan Rani juga mengatakan bahwa perlu adanya bukti dan sebab-akibat.


Selanjutnya, diskusi berlanjut dengan membahas kasus melalui perspektif hukum progresif. Hukuman seperti apa yang dianggap efektif untuk kasus seperti ini? Apakah cukup penjara, atau perlu kombinasi dengan pemulihan nama baik, pelayanan masyarakat, dan terapi bagi pelaku? Apakah dalam kasus seperti ini, pendekatan restorative justice masih relevan? Menurut Mega laporan yang diajukan, tahapannya adalah penyelidikan baru kemudian masuk pada tahapan penyidikan. Dalam kasus ini, ibu dari almarhum pada akhirnya tidak menggugat. Walaupun begitu, masih ada sanksi represi sosial yang sebenarnya dampaknya lebih menyeramkan (teringat terus menerus akan perilakunya). Dewi Ardhita Cahyaningrum menilai bahwa perlu adanya hukuman yang tepat, salah satunya sanksi/hukuman berupa pengeluaran pelaku dari kampus supaya tidak ada korban lain. Kezia melihat dari kasus yang terjadi, pemidanaan tidak efektif, karena orang yang sudah keluar dari penjara masih tetap berpotensi untuk melakukan hal yang sama atau bahkan lebih parah dengan dia memendam rasa dendam dan lain sebagainya. Pendapat lainnya, menurut Amel, perlu dibuatkan suatu penyuluhan mengenai antiperundungan, mempertimbangkan usia pelaku yang masih muda sehingga masih ada kesempatan untuk mengubah dan membentuk karakter menjadi lebih baik, seperti rehabilitasi agar tidak berujung pada pidana. Rizky setuju dengan pendapat ini,  pelaku dengan usia muda masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri, adanya arahan agar tidak kembali melakukan perbuatan yang sama. Tetapi ia juga mengingatkan perlunya kehati-hatian dan menghindari bias karena terlalu percaya dan sanksi yang diberikan menjadi tidak efektif karena tidak menimbulkan efek jera. 


C. Penutup & Kesimpulan

Diskusi ditutup dengan refleksi mengenai keadaan empiris dari pemberlakuannya undang-undang di Indonesia yang terbilang tidak fleksibel dan tidak membuat efek jera. Hal ini juga menekankan bahwasanya terdapat subjektivitas dari masing-masing individu mengenai hal baik dan buruk. Pada saat ini “pengadilan sosial” berperan besar dalam memberikan sanksi dan efek jera pada pelaku. Di akhir sesi, para peserta juga ikut merefleksikan dan mengevaluasi diri sendiri, agar jangan sampai menjadi pelaku di kondisi  lainnya.

Comments


Recent Posts
Archive
Lambang UGM-putih.png
  • Instagram
  • Facebook
  • X
  • Youtube
  • LinkedIn
  • TikTok
  • Spotify

Faculty of Law Universitas Gadjah Mada | Jl. Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Sleman, DI Yogyakarta, Republic of Indonesia 55281

Copyright © 2025 Asian Law Students' Association Local Chapter Universitas Gadjah Mada. All Logos & Trademarks are the property of their respective holders.

All Rights Reserved. All Systems Operational.

bottom of page