top of page

Mengapa tindakan membantu atau memberikan eutanasia dapat dipidana, mengingat bahwa keinginan untuk bunuh diri yang menjadi tindakan pokok oleh pasien sendiri bukan merupakan tindak pidana

Terima kasih atas pertanyaannya!


Eutanasia menjadi topik yang hangat diperbicangkan karena eutanasia mengangkat pertanyaan moral mengenai kepatutan dokter untuk membantu menghilangkan nyawa pasien atas permintaannya. Perdebatan mengenai kepatutan Euthanasia membagi  orang-orang ke 2 kubu, kubu yang mendukung legalisasi eutanasia dan kubu yang menganggap eutanasia sebagai tindakan yang ilegal. Kubu yang mendukung legalisasi Euthanasia berargumen bahwa eutanasia merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, khususnya perluasan dari Right to Self-Determination (Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri). Selain itu, Kubu Pro mendasarkan keputusan pasien untuk permintaan eutanasia sebagai bagian dari hak otonomi pasien, yaitu hak pasien untuk menentukan perawatan padanya. Kubu yang menolak legalisasi Euthanasia menempatkan dasar penentangannya pada nilai agama, budaya, dan sosial yang menganggap bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang harus dijaga dan tidak boleh dikurangi nilainya atas dasar apapun itu, serta pelanggaran HAM yaitu Hak Untuk Hidup. Saat ini, peraturan Euthanasia masih bervariasi di berbagai negara, Belanda misalnya, adalah negara pertama yang melegalisasi eutanasia pada 2001 dengan syarat dan prosedur yang ketat. Untuk Indonesia, eutanasia masih menjadi praktik yang ilegal dilakukan oleh tenaga medis dan masih belum ada peraturan khususnya. 


Eutanasia adalah segala tindakan yang mengakhiri hidup seorang pasien dengan cara membebaskannya dari penderitaannya demi kepentingan pasien sendiri dengan segala pertimbangan yang matang, dengan berdasarkan atas persetujuan dari berbagai pihak dari diri pasien itu sendiri, keluarganya maupun dari dokter yang ahli di bidangnya (Flora, 2022). Eutanasia dibagi menjadi 5 jenis yaitu:


Eutanasia Aktif: Melibatkan tindakan aktif dokter atau tenaga medis untuk membantu mengakhiri nyawa seorang pasien, seperti memberikan obat yang langsung menyebabkan kematian pada pasien

Eutanasia Pasif: Melibatkan tindakan dokter atau tenaga medis yang secara tidak langsung menyebabkan kematian seorang pasien, seperti dengan menghentikan perawatan

Eutanasia Sukarela: Eutanasia dilakukan atas permintaan pasien 

Eutanasia Non Sukarela: Eutanasia dilakukan dengan mempercepat kematian pasien tanpa permintaan pasien

Non Voluntary Euthanasia: Eutanasia dilakukan atas permintaan pihak ketiga seperti keluarga atau pemerintah


Dalam konteks kriminalisasi, pelaku bunuh diri tidak dapat dipidana karena orang yang sudah meninggal tidak bisa dipidana. Kemudian, euthanasia merupakan tindakan yang sifatnya membantu sehingga tidak perlu memerhatikan tindakan pokoknya (dalam hal ini bunuh diri) merupakan tindak pidana atau bukan. Artinya, meskipun bunuh diri bukan merupakan tindak pidana, orang yang membantu bunuh diri dapat dikriminalisasi karena kriminalisasi fokus pada sifat perbuatannya tanpa memerhatikan kaitannya dengan perbuatan lainnya. Misalnya karena telah melanggar norma sosial atau bertentangan dengan peraturan lain. 


Di Indonesia, eutanasia belum diatur secara khusus di peraturan perundang-undangan, maka kita harus mencari peraturan perundang-undangan lain yang mendekatinya. Dalam KUHP, eutanasia Aktif dan sukarela dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dibawah Pasal 344 KUHP yang berbunyi "Barangsiapa yang merampas jiwa orang lain atas permintaan yang sungguh-sungguh dan meyakinkan dari orang lain itu, diancam dengan pidana penjara maksimum dua belas tahun." Salah satu unsur pasal yang penting dalam Pasal 344 KUHP adalah “Permintaan yang sungguh-sungguh dan meyakinkan dari orang lain itu.” Unsur pasal tersebut menegaskan bahwa harus ada permintaan dari pasien yang menyatakan ia meminta untuk dilakukan eutanasia lewat media tertulis atau alat bukti lainnya, jika tidak, maka nakes akan dikenakan pasal pembunuhan biasa. Nakes yang melakukan eutanasia pasif akan dijerat dengan Pasal 304 jo Pasal 306 ayat 2 KUHP. Pasal 304 KUHP berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Untuk Pasal 306 ayat 2  sendiri mengatur apabila tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 304 menyebabkan kematian, maka tindakan tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Unsur pasal yang penting dalam Pasal 304 adalah adanya seseorang yang diwajibkan secara hukum atau persetujuan untuk merawat seseorang, dalam hal ini adalah nakes, dapat dihukum karena telah melakukan eutanasia pasif yang merupakan perwujudan dari unsur pasal “menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara”  ditambah dengan Pasal 306 ayat 2 sebagai pasal pemberat karena tindakan tersebut menyebabkan kematian.  Dalam KUHP Nasional, eutanasia Aktif diatur di Pasal 461 yang berbunyi “Setiap Orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.” Unsur pasal “jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati,” memiliki persamaan dengan unsur Pasal 344 KUHP yang menegaskan harus adanya permintaan dari pasien yang menyatakan ia meminta eutanasia.


Dalam ranah hukum kesehatan Indonesia, dokter diwajibkan untuk menyelamatkan dan menjaga nyawa pasien yang mereka rawat, sehingga  eutanasia merupakan praktik yang dilarang dilakukan oleh dokter karena telah melanggar kode etik dan sumpah dokter. Sebagaimana diatur dalam kode etik kedokteran Pasal 7d, dokter memiliki kewajiban untuk melindungi hidup makhluk insani. Pasal 7d kode etik kedokteran menekankan bahwa segala tindakan dokter bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaannya sehingga separah apapun seorang pasien menderita karena penyakitnya, dokter harus mencari cara untuk mengurangi penderitaannya tanpa melakukan eutanasia sebagai opsi finalnya.


Maka dengan penjelasan diatas, tindakan membantu bunuh diri atau eutanasia dapat dipidana karena ada pengaturannya dalam KUHP, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan eutanasia. Bunuh diri sendiri bukan merupakan tindak pidana karena hukum tidak bisa menjatuhkan pidana dan pertanggungjawaban pidana pada seseorang yang sudah meninggal. Pertanggungjawaban pidana dapat diberikan pada seseorang yang membantu atau menganjurkan orang lain untuk melakukan tindakan bunuh diri karena kriminalisasi eutanasia memisahkan antara tindakan pokoknya dan tindakan membantu dan menganjurkannya.



Daftar Pustaka: 


Peraturan Perundang-Undangan 

Kode Etik Kedokteran Indonesia

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 


Artikel Jurnal 

Henny Saida Flora. Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Kesehatan. Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, Vol. 2, No. 2, 2022, hal. 89

Tanuwijaya, Fanny. “Euthanasia and the Assessment of Patients’ Autonomy Rights in the 

Indonesian Criminal Code” (2020) 7:2 Lentera Hukum 231-244.




Comments


Recent Posts
Archive
Lambang UGM-putih.png
  • Instagram
  • Facebook
  • X
  • Youtube
  • LinkedIn
  • TikTok
  • Spotify

Faculty of Law Universitas Gadjah Mada | Jl. Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Sleman, DI Yogyakarta, Republic of Indonesia 55281

Copyright © 2025 Asian Law Students' Association Local Chapter Universitas Gadjah Mada. All Logos & Trademarks are the property of their respective holders.

All Rights Reserved. All Systems Operational.

bottom of page