top of page

Obligasi Dalam Kepailitan


ALA #6 is in collaboration with Oscar Sagita Law Office

Pertanyaan: Bagaimana penyelesaian apabila ada pemegang obligasi yang perusahaan obligasinya mengalami kepailitan?


Jawaban:


Terima kasih DN atas pertanyaan yang telah diajukan kepada ALSA Legal Assistance!


Untuk menjawab pertanyaan anda, kami mengkhususkan pada cara penyelesaian atau pembayaran utang dari penerbit obligasi yang telah berada dalam keadaan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang berkekuatan hukum tetap kepada para pemegang obligasi/investor. Terhadap pertanyaan tersebut, terlebih dahulu dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:


OBLIGASI


Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 91 Tahun 2021 (“PP 91/2021”), obligasi adalah surat utang, surat utang negara, dan obligasi negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan yang diterbitkan oleh pemerintah dan non-pemerintah, termasuk surat utang yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah (sukuk). Dengan demikian, hubungan hukum yang terjadi adalah utang-piutang berdasarkan pengakuan utang dari penerbit obligasi selaku Debitor atau pemilik utang kepada para pemegang obligasi selaku Kreditor atau investor atau pemilik piutang.


WALI AMANAT


Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UU Pasar Modal”) jo. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-412/BL/2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang (“KEP-BAPEPAMLK”), terhadap setiap tindakan hukum dan kepentingan dari pemegang obligasi baik di dalam maupun luar pengadilan wajib diwakili oleh pihak yang disebut Wali Amanat.


Wali Amanat dapat dilakukan oleh Bank Umum dan Pihak lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah yang telah terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 KEP-BAPEPAMLK, antara Wali Amanat dengan penerbit obligasi diwajibkan membuat Kontrak Perwaliamanatan untuk melindungi hak-hak para pemegang obligasi. Kontrak Perwaliamanatan tersebut harus memuat setidak-tidaknya mengenai:


1) Identitas para pihak;

2) Utang pokok;

3) Tanggal Jatuh tempo;

4) Bunga;

5) Jaminan (jika ada);

6) Hak keutamaan dari efek bersifat utang (jika ada);

7) Sanksi; dan

8) Pemeringkatan efek bersifat utang.


PENDAFTARAN TAGIHAN DALAM KEPAILITAN


Dalam hal suatu perusahaan penerbit obligasi berada dalam keadaan pailit, maka berdasarkan Pasal 15 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan dan PKPU"), akan diangkat Kurator dan Hakim Pengawas untuk melakukan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan diucapkan. Dalam tahapan pengurusan dan/atau pemberesan tersebut, Kurator akan memberikan kesempatan kepada seluruh Kreditor dari perusahaan penerbit obligasi/Debitor untuk mengajukan tagihan-tagihan yang berdasar hukum kepada Debitor melalui Kurator, yang kemudian akan dilakukan pencocokan (vide Pasal 27 UU Kepailitan dan PKPU).


Dengan demikian, untuk dapat mendaftarkan diri sebagai Kreditor, para pemegang obligasi/investor dapat terlebih dahulu berkomunikasi dengan Wali Amanat sebagai perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan dari pemegang obligasi untuk mendaftarkan obligasinya ke Kurator, atau sesuai dengan Kontrak Perwaliamantan dapat mendaftarkan sendiri tagihan yang dimiliki kepada Kurator. Selanjutnya, Kurator akan melakukan pencocokan utang dengan merujuk pada Kontrak Perwaliamanatan yang diajukan oleh Wali Amanat untuk menentukan kedudukan para pemegang obligasi dalam hierarki jenis Kreditor.




JENIS KREDITOR


Secara umum, Kreditor terbagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:


1) Kreditor Preferen

Kreditor yang memiliki hak preferensi atau keistimewaan untuk didahulukan pelunasannya.


2) Kreditor Separatis

Kreditor yang memegang hak kebendaan seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak kebendaan lainnya.


3) Kreditor Konkuren

Kreditor yang tidak memiliki keistimewaan untuk didahulukan dan tidak memegang jaminan kebendaan.


Dengan demikian, dalam hal obligasi tidak dijamin dengan jaminan kebendaan, maka pemegang obligasi termasuk dalam kategori Kreditor Konkuren, yang akan dibayar dari hasil penjualan aset yang tidak dijamin atau oleh sisa hasil penjualan aset jaminan kebendaan milik kreditor separatis. Sebaliknya, jika Kontrak Perwaliamanatan mengatur adanya jaminan kebendaan, maka pemegang obligasi tersebut termasuk dalam kategori Kreditor Separatis. Berdasarkan Pasal 55 UU Kepailitan dan PKPU, para Kreditor Separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadinya kepailitan. Namun demikian, merujuk Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, maka proses eksekusi tersebut akan ditangguhkan terlebih dahulu untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan dan diberikan waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimluainya keadaan insolvensi untuk melaksanakan proses eksekusi dan penjualan tersebut (vide Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU).



PENYELESAIAN ATAU PEMBAYARAN DALAM KEPAILITAN


Dalam proses kepailitan, terdapat 2 (dua) hal utama yang akan dilakukan oleh Kurator, yaitu melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit. Dalam proses pengurusan tersebut, perusahaan penerbit obligasi atau Debitor berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor (vide Pasal 144 UU Kepailitan dan PKPU). Tawaran perdamaian tersebut diajukan oleh perusahaan penerbit obligasi atau Debitor dalam suatu Rencana Perdamaian yang berisi cara-cara dan restrukturisasi pembayaran kepada seluruh Kreditor. Berdasarkan Pasal 151 jo. 152 UU Kepailitan dan PKPU, Rencana Perdamaian tersebut akan diterima apabila disetujui dalam Rapat Kreditor oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Kreditor Konkuren yang hadir dan mewakili setidaknya 2/3 (dua per tiga) jumlah tagihan. Pengadilan Niaga kemudian berdasarkan Pasal 159 UU Kepailitan dan PKPU dapat mengesahkan atau menolak mengesahkan Rencana Perdamaian yang telah diterima tersebut.


Jika perusahaan penerbit obligasi atau Debitor tidak mengajukan rencana perdamaian, rencana perdamaian tidak diterima, atau pengesahan rencana perdamaian ditolak, maka demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi. Keadaan insolvensi ini yang menjadi tolak ukur dimulainya pemberesan oleh Kurator. Dalam tahap pemberesan, Kurator dapat menawarkan kepada para Kreditor supaya perusahaan penerbit obligasi atau Debitor dilanjutkan (going concern) agar dapat melakukan pembayaran kepada seluruh Kreditor. Usul tersebut dapat diterima apabila disetujui dalam Rapat Kreditor oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Kreditor Konkuren yang hadir (vide Pasal 180 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU).


DAFTAR PEMBAGIAN HARTA


Dalam hal usul melanjutkan perusahaan perusahaan penerbit obligasi atau Debitor tidak diterima, maka Kurator akan memulai melakukan pemberesan dan menjual semua harta pailit. Setelah penjualan tersebut dilakukan, Kurator akan mempersiapkan suatu daftar pembagian kepada Kreditor yang piutangnya telah dicocokan. Daftar pembagian tersebut akan didasarkan pada asas pari pasu pro rata parte dan paritas creditorium. Dengan demikian, proses pembayaran dalam daftar pembagian tersebut akan dilakukan sesuai urutan kategori Kreditor, yaitu kepada:


1) Kreditor Preferen yang memiliki hak preferensi atau keistimewaan untuk didahulukan pelunasannya, seperti upah pekerja dan pajak;

2) Kreditor Separatis yang memiliki jaminan kebendaan seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak kebendaan lainnya;

3) Kreditor Konkuren yang tidak memiliki hak istimewa dan hak kebendaan.


Setelah pembayaran tersebut terlaksana, maka kepailitan perusahaan penerbit obligasi atau Debitor dinyatakan berakhir.


ILUSTRASI PEMBAYARAN


Berikut adalah beberapa contoh ilustrasi prosedur penyelesaian utang dengan memperhatikan kondisi harta Debitor.


A. Dalam hal harta Debitor dinyatakan cukup untuk membayar lunas utang


Pada saat pemberesan, Debitor memiliki harta senilai Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Saat pengajuan tagihan, terdapat 5 (lima) kreditor yang mengajukan, yaitu:

1) PT UGM sebagai wali amanat dari pemegang obligasi dengan nilai tagihan terverifikasi sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar Rupiah) dan memiliki jaminan kebendaan berupa hak tanggungan dengan nilai pertanggungan sebesar Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah);

2) Pajak dengan nilai tagihan terverifikasi sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar Rupiah);

3) PT ALSA dengan nilai tagihan terverifikasi sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar Rupiah);

4) Bank A dengan nilai tagihan terverifikasi sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan

5) Bonus kepada pekerja dengan nilai tagihan terverifikasi sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah).


Berdasarkan ilustrasi di atas maka kreditor separatis adalah PT UGM, kreditor preferen adalah pajak, sementara kreditor konkuren adalah PT ALSA, Bank A, dan Bonus Pekerja. Dengan demikian, urutan pembayaran adalah:

1) Pajak sebagai kreditor preferen dibayar penuh sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar Rupiah);

2) PT UGM sebagai kreditor separatis dibayar penuh sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar Rupiah); dan

3) Kreditor konkuren dibayar penuh dengan rincian:

a) PT ALSA sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar Rupiah);

b) Bank A sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah); dan

c) Bonus pekerja sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah).


B. Dalam hal harta Debitor tidak cukup untuk membayar lunas utang


Pada saat pemberesan, Debitor memiliki harta senilai Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dari hasil penjualan aset jaminan kebendaan. Saat pengajuan tagihan utang, terdapat 5 (lima) kreditor yang mengajukan, yaitu:

1) PT UGM sebagai wali amanat dari pemegang obligasi dengan nilai tagihan terverifikasi sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar Rupiah) dan memiliki jaminan kebendaan berupa hak tanggungan dengan nilai pertanggungan sebesar Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah);

2) Pajak dengan nilai tagihan terverifikasi sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar Rupiah);

3) PT ALSA dengan nilai tagihan terverifikasi sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar Rupiah);

4) Bank A dengan nilai tagihan terverifikasi sebesar Rp10.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah); dan

5) PT JOGJA sebagai wali amanat dari pemegang obligasi dengan nilai tagihan terverifikasi sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar Rupiah).


Mengacu pada ilustrasi di atas, diketahui bahwa seluruh utang terverifikasi yang diajukan adalah sebesar Rp120.000.000.000,00 (seratus dua puluh miliar Rupiah) sementara Debitor hanya memiliki harta sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah). Apabila ditemukan kondisi sedemikian rupa, Kurator yang ditunjuk akan menyelesaikan pembayaran utang menurut asas pari passu pro rata parte dan paritas creditorium.


Asas paritas creditorium menyatakan bahwa seluruh kreditor mempunyai hak yang sama terhadap harta benda debitor dalam pelunasan utang. Pelunasan tersebut kemudian harus dibagi secara proporsional antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama berdasarkan asas pari passu pro rata parte (vide Pasal 1132 KUH Perdata).


Dengan memperhatikan asas pari passu pro rata parte, pelunasan terhadap PT ALSA, Bank A, dan PT JOGJA sebagai kreditor konkuren dibagi secara proporsional di antara ketiganya. Dalam hal ini, urutan pembayaran utang pada ilustrasi di atas menjadi sebagai berikut:

1) Pajak sebagai kreditor preferen dibayar penuh sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar Rupiah)

2) PT UGM sebagai kreditor separatis dibayar penuh sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar Rupiah); dan

3) Dikarenakan harta Debitor tidak cukup untuk membayar lunas, pelunasan utang terhadap kreditor konkuren akan dibagi secara proporsional (pro rata).


PT ALSA: 20/40 x Rp20.000.000.000,00 = Rp10.000.000.000,00

Bank A: 10/40 x Rp20.000.000.000,00 = Rp5.000.000.000,00

PT JOGJA : 10/40 x Rp20.000.000.000,00 = Rp5.000.000.000,00


Dengan demikian, kreditor konkuren tidak dibayar penuh dengan rincian PT ALSA hanya sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar Rupiah), Bank A sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah), dan PT JOGJA sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah).


Namun demikian, ilustrasi di atas merupakan bentuk penyederhanaan dari proses pemberesan yang dilakukan dalam praktik kepailitan sebagai bahan dikusi dari pertanyaan saudara. Untuk informasi lebih lengkap, silakan menghubungi mitra bestari kami pada Oscar Sagita Law Office.


Demikian jawaban ini kami sampaikan, untuk sebagai pengetahuan umum dalam proses kepailitan. Semoga tercerahkan.


Sumber:

[1] Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2021 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap.

[2] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

[3] Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-412/BL/2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.

[4] Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

[5] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.






Tags:

Recent Posts
Archive
bottom of page