top of page

Relevansi Asas Keadilan Berimbang Dalam Hukum Waris Islam Dengan Prinsip Keadilan dan Kesetaraan Gender Masa Kini

Terima kasih atas pertanyaannya!

Pertanyaan yang diberikan oleh Saudara K merupakan sebuah polemik terkait pembagian waris menurut hukum islam yang dirasa tidak mencerminkan kesetaraan gender. 


Mengingat Saudara K sebagai ahli waris memeluk agama Islam, maka jawaban atas pertanyaan yang Saudara berikan akan didasarkan pada asas-asas kewarisan islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)


Hukum waris islam merupakan bagian integral dari sistem hukum islam yang berkaitan dengan pembagian harta milik pewaris. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 171 Buku II KHI, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, dan menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris serta berapa bagiannya masing-masing. Artinya, pembagian waris ini dapat terjadi apabila telah terpenuhi 3 (tiga) unsur kewarisan islam, yaitu adanya pewaris, ahli waris, dan harta waris. Bila pewaris meninggal dunia, maka secara otomatis terjadi peralihan harta waris kepada ahli waris yang didasarkan pada pertalian darah maupun semenda selama tidak terhalang menjadi ahli waris. Peralihan secara otomatis menimbulkan konsekuensi di mana seseorang tidak dapat menerima atau menolak untuk menjadi ahli waris. Selain itu, bagian dari masing-masing ahli waris telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan Allah dalam Al-Quran untuk menghindari persengketaan dalam keluarga yang berkaitan dengan pembagian harta waris. Meskipun demikian, terdapat konsep keadilan berimbang yang menentukan bagian laki-laki 1 (satu) berbanding 2 (dua) dengan perempuan kerap kali menimbulkan pro kontra di antara umat Islam. Konsep ini dianggap menegasikan konsep keadilan modern yang menekankan keadaan seimbang tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun termasuk adanya kesetaraan tanpa memandang gender karena keduanya memiliki hak yang sama. Namun, di sisi lain perlu ditelisik lebih dalam mengenai latar belakang dari konsep keadilan berimbang ini. 


Sebelum Islam datang, perempuan tidak pernah dipertimbangkan untuk menjadi ahli waris, namun setelah Islam datang, Allah mengangkat derajat perempuan dengan menjadikannya sebagai ahli waris. Konsep ini memiliki arti bahwa tidak ada diskriminasi gender antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan haknya sebagai ahli waris. Perempuan juga memiliki hak yang sama kuatnya untuk mendapatkan harta warisan sebagaimana yang didapatkan oleh laki-laki. Akan tetapi, keadilan berimbang bukan berarti adil secara rata, namun mengandung pengertian bahwa harus terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus ditunaikan seseorang. Maksudnya, laki-laki dan perempuan akan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang akan dipikulnya masing-masing kelak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Laki-laki memiliki kewajiban ganda, yaitu terhadap dirinya dan keluarganya di mana laki-laki berkewajiban untuk melindungi istri, anak, ibu, serta saudara perempuannya sehingga bagian harta waris akan mengikuti besarnya tanggung jawab tersebut. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, perempuan hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan ketika menikah akan mendapatkan mahar serta menjadi tanggung jawab dari suaminya. Dapat disimpulkan bahwa kewajiban laki-laki lebih besar daripada perempuan sehingga laki-laki berhak untuk mendapatkan bagian yang seimbang dengan kewajiban yang dipikulnya. Selain itu, perlu dipahami pula bahwa pembagian waris bagi umat Islam memiliki 2 (dua) dimensi, yaitu ibadah dan muamalah. Pembagian waris bukan hanya tentang pembagian harta, tetapi juga menjalankan perintah Allah dan mengerjakannya terhitung sebagai bentuk ketaatan seorang Muslim. Untuk pembagiannya, anak pewaris mendapat 1 (satu) bagian anak laki-laki sama dengan 2 (dua) bagian anak perempuan. Untuk orang tua pewaris bila pewaris tidak memiliki anak, maka ibu mendapat ⅓ harta waris dan ayah mendapat sisanya. Untuk pasangan yang ditinggalkan pewaris tanpa memiliki anak, duda akan mendapat bagian ½ dan janda mendapat ¼, sedangkan untuk pasangan yang ditinggalkan bersama dengan anak, duda akan mendapat ¼ dan janda akan mendapat ⅛ bagian. Pembagian tersebut adalah ketentuan Al-Quran sehingga harus dipahami dalam 2 (dua) dimensi tersebut, sesuai Surat An-Nisa ayat 11. Pembagian ini dianggap telah mencerminkan konsep keadilan substansial bila dihadapkan pada keadaan tertentu dan pada masa awal datangnya Islam karena perempuan dianggap tidak memiliki tanggung jawab apapun. 


Pemahaman yang tidak proporsional dalam memandang hukum islam akan menghasilkan stagnasi dalam menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu, terdapat dinamika hukum islam yang terbentuk melalui interaksi antara wahyu dengan rasio untuk menjawab permasalahan yang ada. Saat ini, masih terdapat konstruksi masyarakat yang memandang kedudukan laki-laki lebih tinggi dan lebih mampu daripada perempuan. Hal ini mempersempit kesempatan perempuan untuk memiliki akses yang sama dalam penghidupan. Di sisi lain, perempuan saat ini telah mengalami banyak kemajuan, termasuk dalam bekerja dan menanggung beban nafkah keluarga. Oleh karena itu, sesuai Pasal 183 KHI, dalam memutus suatu permasalahan waris, terbuka peluang pengecualian asas keadilan berimbang dengan konsep tashaluh atau perdamaian, yaitu dengan membagi secara rata antara bagian laki-laki dan perempuan selama masing-masing ahli waris mengetahui bagiannya dan rela untuk ditetapkan berbeda dari ketentuan yang ada. Hal ini dianggap mampu mengembalikan tujuan utama dari disyariatkannya hukum waris Islam, yaitu keadilan sehingga tidak ada diskriminasi terhadap kaum perempuan.



Daftar Pustaka


Ilhami, Haniah. (2023). Kedudukan Asas Keadilan Berimbang dalam Hukum Kewarisan Islam Dikaitkan dengan Peraturan Mahkamah Agung R.I. Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Departemen Hukum Islam, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.Mahkamah Agung Republik Indonesia. (1991).  Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Mahkamah Agung RI.

Rohmah, E. I., & Faizah, I. (2022, Oktober). Konsep Keadilan dalam Hukum Waris Muhammad Syahrur. The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law, 3(2). 

Suryati. (2017). Hukum Waris Islam. Penerbit ANDI.



Comments


Recent Posts
Archive
Lambang UGM-putih.png
  • Instagram
  • Facebook
  • X
  • Youtube
  • LinkedIn
  • TikTok
  • Spotify

Faculty of Law Universitas Gadjah Mada | Jl. Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Sleman, DI Yogyakarta, Republic of Indonesia 55281

Copyright © 2025 Asian Law Students' Association Local Chapter Universitas Gadjah Mada. All Logos & Trademarks are the property of their respective holders.

All Rights Reserved. All Systems Operational.

bottom of page