Surat Piutang
Pertanyaan:
Apakah ketika individu akan membuat surat perjanjian memberikan piutang dengan syarat tertentu ke seseorang perlu membuat di notaris? Atau bolehkah membuatnya sendiri dengan materai?
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaannya! Pertanyaan yang diajukan oleh saudara Z adalah terkait apakah surat perjanjian piutang dengan syarat tertentu perlu dibuatkan akta otentik atau dapat dibuat dengan akta di bawah tangan.
Pada dasarnya, hukum perjanjian di dalam Pasal 1338 KUHPerdata menganut asas kebebasan berkontrak. Adapun kebebasan dalam berkontrak ini meliputi:
(1) Bebas dalam menentukan apakah seseorang akan melakukan perjanjian atau tidak;
(2) Bebas dalam menentukan dengan siapa ia akan melakukan suatu perjanjian;
(3) Bebas dalam menentukan isi klausula perjanjian;
(4) Bebas dalam menentukan bentuk perjanjian; dan
(5) Kebebasan lain selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehingga, asas kebebasan berkontrak inilah yang kemudian menjadi landasan dalam memberikan jaminan kebebasan pada seseorang untuk menentukan hal-hal yang ingin diatur terkait perjanjian.
Perbedaan antara akta otentik dan akta di bawah
KUHPerdata kita mengenal dua jenis akta yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
“Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.”
Di dalam Pasal 1868 KUHPerdata telah diatur mengenai ketentuan akta otentik yang berbunyi sebagai berikut:
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”
Adapun terkait ciri khas dari akta di bawah tangan menurut Irma Devita dalam artikelnya yang berjudul Perbedaan Akta Otentik dengan Surat di Bawah Tangan antara lain sebagai berikut :
1. Bentuknya yang bebas
2. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum
3. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya
4. Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi dan bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan dua orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.
Sehingga berdasarkan pasal a quo dapat dipahami bahwa akta otentik dan akta di bawah tangan sama-sama merupakan alat bukti yang berupa tulisan. Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak yang bersangkutan atas kesepakatan para pihak tanpa adanya keterlibatan pejabat umum yang berwenang. Sedangkan akta otentik adalah akta yang dibentuk dihadapan pejabat umum yang berwenang.
Selain itu, yang menjadi pembeda antara akta otentik dan akta di bawah tangan ini adalah terkait kekuatan hukum dalam pembuktian di dalam persidangan perkara perdata. Kekuatan pembuktian akta dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahir (pihak ketiga)
Kekuatan pembuktian lahir didasarkan atas keadaan lahir dimana suatu surat yang kelihatannya seperti akta diterima dan diberlakukan selayaknya akta sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya.
2. Kekuatan pembuktian formal
Didasarkan pada benar atau tidaknya pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak dalam akta. Sehingga, kekuatan pembuktian ini adalah dengan pengakuan mengenai pernyataan bahwa telah terjadi kesepakatan dengan adanya tanda tangan oleh para pihak.
3. Kekuatan pembuktian material
Kekuatan pembuktian material didasarkan atas benar atau tidaknya isi dari pernyataan atas akta yang telah ditandatangani oleh para pihak.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian dalam perkara perdata yang sama kuatnya dengan akta otentik selama tidak dipungkiri oleh para pihak. Apabila dipungkiri oleh para pihak maka akta dibawah tangan tersebut harus dilengkapi dengan alat bukti lain seperti contohnya alat bukti saksi. Sehingga, dapat dikatakan bahwa akta di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum yang sempurna. Sedangkan, akta otentik memiliki kekuatan hukum yang sempurna karena dibuat oleh seorang notaris atau pejabat lain yang berwenang yang ditunjuk oleh undang-undang. Apabila hendak melakukan pembuktian di persidangan maka notaris dapat menjadi saksi ahli apabila diperlukan.
Sehingga berdasarkan uraian di atas, pembuatan surat perjanjian hutang piutang pada dasarnya dapat dibuat baik dengan menggunakan akta di bawah tangan maupun dengan akta otentik. Namun, apabila di kemudian hari terjadi sengketa dimana surat perjanjian hutang piutang tersebut digunakan sebagai alat bukti maka yang memiliki kekuatan hukum yang paling kuat adalah dengan menggunakan akta otentik yang dibuat dihadapan notaris selaku pejabat yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, hemat penulis menyarankan sebagai tindakan preventif manakala terjadi sengketa di kemudian hari, sebaiknya surat perjanjian hutang piutang dengan nilai yang besar dan risiko tinggi dibuat secara otentik oleh dan di hadapan notaris.
Demikian hasil analisa kami semoga dapat tercerahkan.
*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.
Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut.
*Jawaban kami telah mendapat review oleh Ibu Alfatika Aununella Dini, S.H., M.Kn., Ph.D (Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada).
Daftar Pustaka:
[1] Abdulkadir, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Sakti, hlm. 225.
[2] Try Indriadi, S.H., Kekuatan Hukum Pengikatan Perjanjian Kredit dengan Akta di Bawah Tangan, https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengikatan-perjanjian-kredit-dibawah-tangan-lt4f8b8aeabe0f4 (diakses pada 13 Mei 2022)
[3] Richard, 2015, Kekuatan Akta di Bawah Tangan sebagai Alat Bukti di Pengadilan, Vol. 3, No. 2, hlm. 141
[4] Moh. Taufik Makarao, 2009, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Penerbit Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 99.
Comments