Pembatalan Perjanjian dalam Sengketa Waris serta Pembuktian Ancaman dan Tuduhan Verbal
Terima kasih atas pertanyaannya!
Pertanyaan yang diberikan oleh Saudari M merupakan polemik terkait legalisasi aborsi bagi korban kekerasan seksual dan hak asasi anak yang berada di dalam kandungan.
Sebelum masuk ke dalam jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang Saudari berikan, jawaban yang tertera didasarkan pada aturan hukum yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan/atau Peraturan Perundang-Undangan nasional. Jika Saudari beragama Islam, direkomendasikan untuk berkonsultasi kepada ahli hukum Islam maupun hukum Adat karena dasar hukum yang akan digunakan dalam pembagian harta warisan adalah hukum Islam.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian pembagian harta warisan oleh para ahli waris dikategorikan sebagai perjanjian konsensuil. Artinya, selama telah mencapai kata sepakat perjanjian dianggap telah berlaku dan melahirkan hak dan juga kewajiban hukum bagi para pihaknya. Selanjutnya, untuk menentukan keabsahan suatu perjanjian agar memiliki kekuatan hukum dapat merujuk pada Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian harus memenuhi syarat, antara lain: kecakapan para pihak, kesepakatan para pihak, ada objek yang diperjanjikan, isi perjanjian tidak bertentangan dengan hukum maupun norma susila. Pada kasus yang Saudari sampaikan, syarat “kesepakatan para pihak” tidak terpenuhi berakibat perjanjian mengandung cacat kehendak sehingga perjanjian dapat dibatalkan. Dalam kasus yang Saudari sampaikan, alasan terdapatnya cacat kehendak adalah karena terjadi paksaan. Berdasarkan Pasal 1324 KUHPerdata, paksaan terjadi bila tindakan oleh orang tersebut sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan. Paksaan tersebut ditujukan salah satunya dalam bentuk ancaman, seperti ancaman kepada nyawa maupun harta. Mengutip pendapat J Satrio, paksaan haruslah tindakan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum. Merujuk kepada pertanyaan Saudari, Penulis melihat bahwa tindakan yang dimaksud sebagai paksaan adalah ancaman dan fitnah.
Pembatalan perjanjian dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan kepada pengadilan perdata. Namun, perlu diperhatikan jika Saudari sebagai pihak penggugat maka sesuai dengan Pasal 283 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) memiliki kewajiban untuk membuktikan gugatan Saudari. Pun, jika Saudari kalah dalam persidangan terdapat kewajiban membayar biaya perkara sesuai yang ditentukan oleh Hakim dalam pengadilan. Dalam kasus Saudari yang telah menandatangani perjanjian, tanda tangan termasuk ke dalam bentuk pernyataan tertulis yang menandakan bahwa antar pihak dalam perjanjian telah menyepakati perjanjian. Namun, dalam kasus Saudari perlu dibuktikan peristiwa ketika Saudari dipaksa menyatakan sepakat melalui tanda tangan. Maka, syarat “kesepakatan para pihak” tidak terpenuhi sehingga dapat membatalkan perjanjian Saudari.
Selanjutnya, mengenai proses pembuktian ancaman dan tuduhan fitnah secara verbal. Sebelum membahas proses pembuktian, yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah tindakan ancaman dan fitnah akan dilaporkan ke pengadilan pidana atau pengadilan perdata. Jika Saudari berharap pelaku dapat dikenakan sanksi pidana seperti denda maupun penjara, maka dapat mengadukan tindakan kepada polisi lalu melalui proses pengadilan pidana. Perlu digaris bawahi untuk tindakan fitnah hanya dapat diproses melalui jalur aduan tindak pidana fitnah, karena jalur perdata hanya dapat berfokus pembatalan perjanjian tidak untuk memproses tindakan fitnah yang terjadi. Meski begitu, dalam kasus Saudari perlu memperjelas tindakan “ditekan” yang dimaksudkan, sebab antara ancaman dan kondisi “ditekan” dapat menjadi dua hal yang berbeda. Catatan kedua jika ingin memproses tindakan-tindakan yang Saudari sebutkan, tindakan yang memperkuat pembatalan perjanjian dalam pengadilan perdata hanyalah tindakan ancaman.
Untuk pengaduan tindak pidana fitnah harus dilakukan secara pribadi tanpa diwakili karena tindakan fitnah dan verbal tergolong delik aduan. Adapun, aduan dapat didasarkan pada Pasal 310 ayat (1) atau Pasal 355 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan jika anda menggugat tindakan tersebut melalui pengadilan perdata, maka ditujukan untuk membuktikan bahwa tidak adanya kesepakatan yang terjadi dalam perjanjian bagi waris yang menjadi pokok permasalahan Saudari.
Sangat dimungkinkan jika kemudian Saudari melakukan dua persidangan sekaligus, menuntut tindakan ancaman dan fitnah pada pengadilan pidana dan di saat yang bersamaan melakukan gugatan terhadap perjanjian bagi waris pada pengadilan perdata. Pun, putusan salah satu pengadilan akan mempengaruhi pertimbangan hakim dalam pengadilan lainnya. Maksudnya adalah jika dalam pengadilan pidana pelaku terbukti melakukan ancaman dan fitnah, maka akan memudahkan proses pembuktian terjadinya cacat kehendak dalam proses pengadilan perdata. Namun, perlu diingat jika mengajukan perkara dalam dua pengadilan yang berbeda di saat yang bersamaan terdapat konsekuensi, yaitu waktu dan perhatian Saudari akan tersita cukup lama untuk menjalani dua persidangan. Tidak hanya itu, terdapat pengeluaran yang lebih besar, seperti membayar jasa pengacara untuk 2 (dua) persidangan yang berbeda dan potensi membayar biaya perkara untuk persidangan pidana juga perdata.
Adapun, untuk membuktikan ancaman dan tuduhan fitnah dapat melalui cara pembuktian sebagaimana tertuang dalam hukum acara masing-masing pengadilan. Saudari dapat merujuk kepada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jika Saudari ingin menuntut tindakan tersebut melalui pengadilan pidana. Selain itu, Pasal 1866 KUHPerdata dapat Saudari gunakan jika menggunakan mekanisme gugatan melalui pengadilan perdata. Adapun, keduanya memiliki beberapa persamaan alat bukti antara lain :
Keterangan saksi: Jika dalam peristiwa ancaman dan tuduhan fitnah terdapat pihak lain yang menyaksikan (mendengar, melihat) secara langsung, maka Saudari dapat menjadikannya sebagai saksi dalam persidangan Saudari.
Keterangan Ahli: Dapat menghadirkan ahli psikologi atau ahli bahasa untuk menganalisis dampak ancaman atau konteks fitnah. Jika menggunakan ahli medis juga dapat melampirkan catatan medis jika ada dampak psikologis atau fisik akibat ancaman.
Adapun untuk alat bukti berupa keterangan sebaiknya di bawah sumpah sebagaimana telah diatur dalam hukum acara persidangan perdata maupun pidana sehingga dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah. Selain itu, jika Saudari memiliki bukti elektronik seperti dokumentasi percakapan digital yang memuat tindakan ancaman dan fitnah dapat dicetak sebagai alat bukti yang memperkuat pembuktian.
Demikian hasil analisis kami semoga dapat tercerahkan.
*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.
Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut.
*Jawaban kami telah mendapat review oleh Annisa Syaufika Y. R., S.H., M.H. dan Devita Kartika Putri, S.H., LL.M.
Daftar Pustaka:
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Rechtsreglement Buitengewesten.
Artikel
Yasin, Muhammad. “Keabsahan Perjanjian yang Dibuat dalam Keadaan Terpaksa.” Hukum Online, 10 Juni 2021, https://hukumonline.com/stories/article/lt60c08306127eb/keabsahan-perjanjian-yang-dibuat-dalam-keadaan-terpaksa (diakses 15 November 2024).
コメント