top of page

Konsekuensi Hukum Perdagangan Buku Bajakan

Pertanyaan:

Bagaimana hukum terhadap perdagangan buku bajakan, baik bagi penjual dan pembeli?


Jawaban:


Terima kasih MJJ atas pertanyaannya!


Berikut hasil pembahasan dan analisis Kami mengenai konsekuensi hukum perdagangan buku bajakan.


Kita hidup dalam masa dimana teknologi berkembang dengan pesat sehingga memudahkan kita untuk menjalani hidup sehari-hari. Dengan adanya perkembangan teknologi tersebut, banyak orang mencari jalan alternatif dalam menjalani kehidupannya dan tak jarang demi kepentingannya masing-masing, seperti misalnya demi mendapatkan keuntungan ekonomi, seseorang melakukan pembajakan. Dewasa ini, pembajakan semakin marak terjadi, mulai dari pembajakan film, musik, buku, karya fotografi, hingga ilmu pengetahuan.[1] Pembajakan adalah penggandaan ciptaan dan/atau produk Hak Terkait (hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga Penyiaran) secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.[2] Oleh karena pembajakan merupakan tindakan penggandaan yang dilakukan secara tidak sah, dalam keadaan tertentu pembajakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap Hak Cipta. Dengan demikian, dalam penyelesaian sengketa terkait pembajakan para pihak dapat menyelesaikannya melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan.[3] Adapun pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Niaga, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”), bagi mereka yang melakukan pembajakan serta memperdagangkan barang hasil pembajakan. [4]


Dasar hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam menelaah tindakan pembajakan adalah Pasal 10, Pasal 40, Pasal 113 ayat 3, Pasal 114, dan Pasal 120 UU Hak Cipta. Hal-hal yang dapat kita ketahui dari UU Hak Cipta ialah mengenai jenis Ciptaan yang dilindungi dan sanksi dari pembajakan yang dilakukan terhadap Ciptaan. Dasar hukum lainnya dapat dilihat dari Pasal 1338 dan Pasal 1365 KUH Perdata (“KUHPer”)[5] Kedua Pasal tersebut mengatur mengenai dasar perjanjian yang dalam hal ini adalah perjanjian jual beli dan implikasi pembajakan buku baik bagi penjual maupun pembeli.


Pada topik kali ini, yang akan menjadi pembahasan adalah pembajakan terhadap buku. Pembajakan buku merupakan upaya memperbanyak buku dengan cara dicetak, disalin, atau cara lain tanpa mendapat izin tertulis dari penerbit buku terkait.[6] Hal ini karena buku merupakan salah satu Ciptaan dari bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang dilindungi oleh Hak Cipta[7] dan juga rentan menjadi objek pembajakan. Maksud dari “dilindungi” disini ialah Pencipta atau Pemegang Hak Cipta berhak atas hak eksklusif yaitu berhak untuk mengatur penggunaan hasil karya atau hasil oleh gagasan atau informasi tertentu.[8] Hak eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta atau Pemegang Hak Cipta ini berarti bahwa pihak lain tidak boleh menggunakan hak tersebut kecuali dengan izin Penciptanya atau dibenarkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[9] Karena itu, terdapat sanksi bagi mereka yang melakukan pembajakan buku, yaitu apabila seseorang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta, yang dalam hal ini merupakan penerbitan Ciptaan, penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya, pendistribusian Ciptaan dan salinannya, dan/atau pengumuman Ciptaan untuk penggunaan secara komersial yang dilakukan dalam bentuk pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).[10] Tidak hanya itu, sanksi pidana bahkan juga berlaku bagi mereka yang mengelola tempat perdagangan yang menjual barang hasil pembajakan di tempat perdagangan yang dikelolanya.[11] Penjual buku yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan buku bajakan di tempat perdagangan yang dikelolanya, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).[12] Tindak pidana yang dimaksud dalam kedua pasal tersebut merupakan delik aduan.[13]


Selain melihat dari sisi penjual, dalam kaitannya dengan perdagangan buku bajakan, perlu juga diperhatikan dari sisi pembeli. Pembeli buku atau konsumen merupakan seseorang yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat, baik untuk kepentingan keluarga, diri sendiri, orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.[14] Dalam konteks pembeli buku dimaksud, maka pembeli buku yang beritikad baik akan mendapatkan perlindungan hukum secara represif atau perlindungan hukum yang dilakukan setelah perbuatan atau pelanggaran itu dilakukan, ketika membeli suatu barang hasil pelanggaran Hak Cipta yang dalam hal ini berupa pembajakan.[15] Itikad baik dalam sebuah perjanjian jual beli diartikan menjadi dua, yaitu arti objektif dan subjektif. Dalam hal ini, secara objektif berarti pembeli buku yang beritikad baik mendasari perbuatannya dengan sesuatu yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[16] Sedangkan secara subjektif berarti pembeli buku yang beritikad baik mendasari perbuatannya dengan sikap batin yang baik dan jujur. [17] Dari kedua definisi tersebut, itikad baik pembeli buku bajakan berarti pembeli tidak mengetahui bahwa buku yang dibeli merupakan buku bajakan. Dengan adanya itikad baik yang merupakan dasar perjanjian dalam Pasal 1338 KUHPer oleh pembeli, perlindungan hukum secara wajar berupa ganti rugi berhak diperoleh pembeli.[18] Berdasarkan Pasal 1365 KUHPer, bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Kerugian pembeli dalam transaksi ini adalah berupa hasil bajakan yang dilakukan oleh penjual buku, sehingga dapat dipastikan kualitas buku tersebut menurun.[19] Ganti rugi tersebut dapat diperoleh pembeli yang beritikad baik dengan mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan perdata. Dengan demikian, pembeli buku bajakan yang beritikad baik berhak mendapatkan perlindungan hukum berupa ganti rugi yang disebabkan oleh penjual buku bajakan. Adapun dalam hal pembeli yang beritikad buruk belum ada regulasi yang mengatur mengenainya.


Hal yang dapat kita simpulkan adalah bahwa perdagangan buku bajakan secara sistematis diatur di dalam UU Hak Cipta dan KUHPer. Konsekuensi penjual buku hasil pembajakan ialah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)[20] serta pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bagi penjual membiarkan penjualan buku bajakan di tempat perdagangan yang dikelolanya.[21] Selain itu, pembeli buku bajakan yang beritikad baik dilindungi dengan dasar perlindungan hukum secara wajar dalam Pasal 1338 KUHPer berupa ganti rugi dari penjual buku bajakan[22] yang dapat diajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri. Sedangkan untuk pembeli dengan itikad buruk, setelah kami riset, belum ditemukan regulasi hukum yang mengatur.


Demikian hasil pembahasan dan analisis dari Kami, semoga dapat mencerahkan.


*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.


Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut*


Dasar Hukum :


[1] Poetri, Sentot, dan Yenny. Perlindungan Hak Cipta atas Buku dari Tindakan Pembajakan di Pasar Buku. Hasil Penelitian. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

[2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta [“UU Hak Cipta”], Pasal 1 Ayat 23 jo. Pasal 1 Ayat 5.

[3] UU Hak Cipta, Pasal 95 Ayat 1.

[4] UU Hak Cipta, Pasal 95 Ayat 2.

[5] KUH Perdata [“KUHPer”]

[6] Poetri, Sentot, dan Yenny, op.cit.

[7] UU Hak Cipta, Pasal 40 Ayat 1 (a).

[8] Ibid.

[9] Budi Agus, 2017, Pembatasan dan Pengecualian Hak Cipta di Era Digital, Citra Aditya Bakti, Bandung.

[10] UU Hak Cipta, Pasal 113 Ayat 4.

[11] Ibid, Pasal 10.

[12] Ibid, Pasal 114.

[13] Ibid, Pasal 120.

[14] Mauliddin, Perlindungan Hukum Bagi Pencipta dan Pembeli Buku Terkait Hasil Pelanggaran Hak Cipta, Hasil Penelitian, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.

[15] Ibid.

[16] Ery Agus, Peranan Asas Itikad Baik dalam Kontrak Baku (Upaya Menjaga Keseimbangan bagi Para Pihak), Diponegoro Private Law Review, Vol. , No. 1, November 2017.

[17] Ibid.

[18] Novalia A, Tan K, Rosmidar S dan Jelly L, Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Pendahuluan (Voor Overeenkomst) pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No 37/PDT/PLW/2012/SIM), USU Law Journal, Vol.3, No.3, November 2015.

[19] Mauliddin, op.cit.

[20] UU Hak Cipta. Pasal 113 ayat 3.

[21] Ibid, Pasal 114.

[22] KUHPer, Pasal 1365.

Tags:

Recent Posts
Archive
bottom of page