Polemik Legalisasi Aborsi bagi Korban Kekerasan Seksual dan Hak Asasi Anak yang Berada di dalam Kandungan
Terima kasih atas pertanyaannya!
Pertanyaan yang diberikan oleh Saudari L merupakan polemik terkait legalisasi aborsi bagi korban kekerasan seksual dan hak asasi anak yang berada di dalam kandungan.
Tindakan aborsi menjadi polemik di tengah masyarakat karena dianggap melanggar hak hidup anak yang berada di dalam kandungan, sebagaimana telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Barangsiapa yang melanggar akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru). Namun, terdapat aturan khusus yang memperbolehkan tindakan aborsi, seperti bagi korban kekerasan seksual. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan 2023) yang kemudian dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 (PP 28/2024). Kedua aturan ini menjadi dasar legitimasi tindakan aborsi dalam situasi tertentu, bahkan menjadi payung hukum terpenuhinya hak mengakses fasilitas aborsi yang aman. Tulisan ini bertujuan untuk membahas lebih lanjut mengenai aborsi akibat kekerasan seksual dari perspektif perlindungan hak asasi anak dan perlindungan negara kepada anak yang lahir dari korban kekerasan seksual.
Hak hidup anak yang berada di dalam kandungan merupakan salah satu poin penting dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 9 ayat 1 UU HAM menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya, yang mana hak hidup ini juga melekat pada anak yang belum lahir atau terpidana mati. Sebagai hak absolut atau non-derogable rights, hak hidup tidak dapat dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan 2009) mengatur bahwa tindak aborsi yang dilakukan tanpa alasan mendasar dapat dikenakan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda Rp1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah) sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP 1946).
Meskipun demikian, dalam hal melindungi kepentingan hidup korban kekerasan seksual, tindakan aborsi memungkinkandapat diizinkan. Dalam kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan, korban berhak menerima perawatan medis dan dukungan kesehatan mental yang memadai. Aborsi dapat menjadi salah satu upaya pencegahan penderitaan psikis bagi korban sebagai bentuk perlindungan kesehatan fisik dan mental yang diatur dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dalam situasi ini, aborsi dinilai sebagai upaya perlindungan hak korban yang lebih mendesak. Artinya, terdapat pembatasan hak hidup anak dalam kandungan.
Dalam hukum, pembatasan HAM harus berlandaskan prinsip proporsionalitas sehingga tindakan yang diambil tidak boleh melebihi batas kewajaran. Pada kasus pemerkosaan, aborsi dapat dinilai sebagai tindakan proporsional untuk mencegah penderitaan lebih lanjut bagi korban. Tak hanya itu, dikenal pula alasan pembenar yang dapat menghapuskan pemidanaan terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana atau tindakan menyimpangi HAM. Tindakan kekerasan seksual seperti pemerkosaan adalah salah satu alasan pembenar dilakukannya aborsi sebab terhitung sebagai keadaan memaksa. Keadaan memaksa adalah situasi terjadinya benturan dua hak, benturan dua kewajiban, dan benturan hak dengan kewajiban. Dalam tindakan aborsi yang dilakukan oleh korban kekerasan seksual, yang terjadi adalah benturan antara hak hidup ibu dan hak hidup anak. Pada kasus kekerasan seksual, tindakan korban dalam melakukan aborsi mencerminkan tindakan untuk melindungi hak hidup dan hak kesehatannya yang telah dirusak.
Secara formil, dasar hukum pembolehan dan pelaksanaan aborsi tertuang dalam Pasal 463 KUHP, Pasal 60 ayat (2) UU Kesehatan, dan PP 28/2024. Ketiga aturan tersebut merupakan bentuk lex specialis derogat legi generali sehingga dapat menyimpangi aturan yang lebih umum, yaitu larangan aborsi. Ketiganya menegaskan bahwa pembolehan ini berlaku pada situasi khusus. Lebih lanjut, Pasal 463 ayat (2) KUHP baru memperbolehkan tindakan aborsi bagi perempuan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 (empat belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis. Meskipun aturan tersebut belum berlaku, tetapi aturan tersebut nantinya akan memberikan hak dan kemudahan bagi korban perkosaan yang hamil untuk melakukan aborsi dengan perpanjangan waktu pelaksanaan aborsi pada kehamilan 14 minggu.
Meskipun demikian, terdapat persyaratan dan prosedur khusus dalam penyelenggaraan aborsi sehingga aman bagi korban dan tidak menyimpangi hukum, seperti yang tertuang pada PP 28/2024, yaitu sebagai berikut:
Pasal 116: Aborsi bagi korban kekerasan seksual diperbolehkan jika kehamilan tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.
Pasal 119: Aborsi hanya dapat dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjut sesuai dengan standar yang ditetapkan Menteri.
Pasal 120: Pelayanan aborsi diberikan oleh tim pertimbangan (memberikan pertimbangan serta keputusan) dan dokter (melakukan pelayanan aborsi) yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
Pasal 122: Aborsi hanya dapat dilakukan atas persetujuan perempuan hamil (korban tindak pidana perkosaan) atau apabila dilakukan pada orang yang tidak cakap maka persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga.
Pasal 123: Harus diberikannya pendampingan serta konseling sebelum dan setelah aborsi yang dilakukan.
Kemudian, terkait dengan perlindungan atau penjaminan kesejahteraan anak yang lahir dari korban kekerasan seksual, belum ada undang-undang maupun peraturan di Indonesia yang mengatur terkait kompensasi dengan bentuk bantuan secara finansial maupun akomodasi dari negara kepada anak yang lahir dari korban kekerasan seksual. Namun, anak yang lahir dari korban kekerasan seksual tetap mendapatkan perlindungan dari negara dalam beberapa bentuk, seperti perlindungan hukum, kesehatan, pendidikan, agama, dan sosial. Setiap anak yang lahir dari korban kekerasan seksual merupakan subjek hukum sejak lahir dan dilindungi oleh hukum-hukum yang ada sebagaimana mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (UU Perlindungan Anak). Hal ini menyatakan bahwa anak yang lahir dari korban kekerasan seksual dianggap sama di mata hukum dengan anak-anak lainnya. Anak yang lahir dari korban kekerasan seksual tetap bisa mendapatkan akta kelahiran dan tercatat sebagai keturunan Indonesia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aborsi pada korban kekerasan seksual tidak selalu dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi anak yang belum lahir karena hak korban untuk menerima perawatan dan perlindungan juga penting untuk diperhitungkan. Namun, pembatasan terhadap hak hidup anak harus dilakukan secara proporsional dan hanya dalam kondisi-kondisi tertentu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan ini, korban kekerasan seksual yang melakukan aborsi telah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Demikian hasil analisis kami semoga dapat tercerahkan.
*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.
Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut.
*Jawaban kami telah mendapat review oleh Sri Wiyanti Eddyono S.H., LL.M., Ph.D.
Daftar Pustaka:
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Artikel dan Berita Internet
Tim Hukumonline, “Hukum Aborsi dan Syarat Aborsi Legal dalam PP Kesehatan”. https://www.hukumonline.com/berita/a/syarat-aborsi-dalam-pp-kesehatan-lt66ab6221c3039?page=2 (diakses September 4, 2024).
Tim Hukumonline, “Hukum Aborsi dan Syarat Aborsi Legal dalam PP Kesehatan”. https://www.hukumonline.com/berita/a/syarat-aborsi-dalam-pp-kesehatan-lt66ab6221c3039?page=all (diakses September 4, 2024).
Rahmawati M., Ginting G.L.A., “Menyediakan Aborsi Aman di Indonesia”. https://www.hukumonline.com/berita/a/menyediakan-aborsi-aman-di-indonesia-lt6604dd978b396/?page=all (accessed September 4, 2024).
Pramestia T., “Legalitas Aborsi dan Hak Korban Pemerkosaan”. https://www.hukumonline.com/klinik/a/legalitas-aborsi-dan-hak-korban-pemerkosaan-lt53e83426ce020/ (diakses September 4, 2024).
Yorumlar