top of page

Alasan Perpindahan Agama sebagai Dasar Putusnya Perkawinan


Terima kasih atas pertanyaannya!

Pertanyaan yang diberikan oleh saudara S merupakan permasalahan mengenai apakah perbedaan keyakinan dapat dijadikan sebagai alasan justifikasi perceraian suami-istri dan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili perkaranya.


Dalam hal ini, kami akan menjawab pertanyaan saudara melalui sudut pandang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai basis hukum yang berlaku. Namun, kami juga tidak menutup kemungkinan adanya perbandingan terhadap sumber-sumber lain untuk dijadikan sebagai acuan, seperti yurisprudensi dan peraturan lainnya seperti Peraturan Pemerintah atau perspektif dari hukum agama tertentu.


Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan alasan-alasan terjadinya perceraian, antara lain:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, penadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan;

  2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lainnya;

  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri; dan

  6. Antara suami dan istri terus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.

Berdasarkan poin-poin di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada ketentuan lebih rinci mengenai perbedaan keyakinan atau pindahnya suami ataupun istri yang dapat dijadikan alasan putusnya perkawinan. Apabila merujuk pada konteks pertanyaan yang ditanyakan oleh saudara S, tim ALA berpendapat bahwa terjadinya pemutusan perkawinan dengan alasan salah satu pasangan berpindah keyakinan saat berkeluarga adalah kejadian tidak terduga.


Oleh karena itu, apabila merujuk pada peraturan yang berlaku, alasan mengenai perpindahan keyakinan belum dapat menjadi dasar diajukannya pemutusan perkawinan. Namun, jika perpindahan agama tersebut menyebabkan perselisihan dan pasangan merasa keyakinan tidak bisa dilakukan kompromi (tidak ada harapan untuk hidup rukun), maka poin terakhir dapat dijadikan landasan perceraian.


Lantas, Bagaimana Jika Pernikahan Tersebut Dilaksanakan dengan Ketentuan Islam?

Jika melihat dari perspektif Hukum Islam, terjadinya penggugatan perceraian atas dasar berpindahnya keyakinan suami ataupun istri dalam pernikahan dapat dibenarkan. Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terkandung implikasi bahwa peradilan agama menganut asas personalitas keislaman yang berarti setiap orang yang beragama islam dan melaksanakan perbuatan hukum berdasarkan ketentuan hukum Islam tunduk pada ketentuan Islam.

Apabila dilihat dari perspektif ajaran hukum Islam, perihal pemutusan perkawinan karena perpindahan agama didasarkan atas Q.S Al-Baqarah ayat 221 yang melarang tegas umat Muslim untuk menikah dengan orang musyrik (dalam konteks ini tidak beriman kepada Allah atau non Muslim). Hal tersebut juga telah diakomodir melalui ketentuan Pasal 116 KHI yang menjabarkan mengenai alasan terjadinya perceraian, antara lain:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

  7. Suami melanggar taklik talak; dan

  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Maka, berdasarkan ketentuan Pasal 116 huruf h KHI, tindakan peralihan agama Islam ke agama lain (murtad) diperbolehkan untuk diajukan sebagai dasar perceraian apabila hal tersebut menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.


Dalam kasus ini, Pengadilan Mana yang Berwenang Mengadili?

Indonesia memiliki lembaga khusus untuk menangani perceraian dari pasangan yang beragama Islam, yaitu Pengadilan Agama sedangkan untuk pasangan yang tidak beragama Islam, perceraian diajukan ke Pengadilan Negeri. Kedua hal tersebut dapat menjadi rujukan, mengingat perceraian diajukan kepada lembaga sesuai dengan pencatatan akta pernikahannya. Oleh karena itu, apabila saat menikah berdasarkan ketentuan Agama Islam, maka perceraiannya dapat diajukan ke Pengadilan Agama karena sedari awal pencatatannya diajukan ke Kantor Urusan Agama (KUA) sedangkan, apabila saat menikah berdasarkan ketentuan agama selain Islam, maka perceraian dapat diajukan ke Pengadilan Negeri, sebab sedari awal pencatatan perkawinannya diajukan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil wilayah setempat.


Bagaimana Pelaksanaannya dalam Praktik?

Dalam Putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor 0166/Pdt.G/2017/PA.Bdg, tergugat murtad dari Agama Islam ke Kristen yang mengakibatkan penggugat mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama Bandung. Dalam konteks ini, Hakim Pengadilan Agama menggunakan asas personalitas keislaman sebagai landasan hukum yang mengikat, di mana perkawinan berdasarkan hukum Islam harus tunduk pada asas ini. Kewenangan Pengadilan Agama dalam kasus ini bersifat mutlak dan absolut, berdasarkan kekuasaan absolut Pengadilan Agama dalam memutuskan kasus perceraian yang melibatkan perkawinan berdasarkan hukum Islam. Hakim mempertimbangkan faktor-faktor kompleks yang mengakibatkan keharmonisan dalam perkawinan tidak dapat dipulihkan, dimana sesuai dengan alasan perceraian dalam Pasal 116 huruf h KHI.


Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa perbedaan keyakinan dapat dijadikan sebagai dasar perceraian suami-istri, apabila perkawinan antara suami dan istri dicatatkan pada Kantor Urusan Agaman (KUA), kewenangan absolut untuk mengadili perkara ada pada Pengadilan Agama, sehingga dalam pertimbangannya, hakim dapat merujuk pada ketentuan hukum Islam. Namun, apabila perkawinan antara suami dan istri dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil (KCS), maka kewenangan absolut untuk mengadili perkara ada pada Pengadilan Negeri, sehingga dalam pertimbangannya, hakim merujuk pada ketentuan hukum perdata.


Demikian hasil analisis kami semoga dapat tercerahkan.


*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.


Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut.


*Jawaban kami telah mendapat review oleh Dr. Hartini S.H., M.Si. dan Annisa Syaufika Yustisia Ridwan, S.H., M.H.


Sumber:

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam


Referensi:

Wirawan, I. P. W., Budiartha, I. N. P., & Ujianti, N. M. P. (2020). Putusan Pengadilan Agama Badung Nomor 0166/Pdt. G/2017/Pa. Bdg tentang Cerai Gugat karena Salah Satu Pihak Berbeda Agama. Jurnal Preferensi Hukum, 1(2), 133-138.




Tags:

Recent Posts
Archive
bottom of page