top of page

Pengecualian Larangan Aborsi Berdasarkan Hukum Positif Indonesia

ALA #4 is in collaboration with Harvardy, Marieta & Mauren Attorneys at Law



Pertanyaan:

Apakah tindakan aborsi dapat dilakukan secara legal karena indikasi medis yang dapat membahayakan ibu atau janin (misalnya, janin tanpa kepala, dan sebagainya)?

Jawaban:

Terima kasih ANP atas pertanyaannya!


Aborsi atau dalam bahasa latin disebut Abortus Provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya.[1] Istilah aborsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pengguguran kandungan. Aborsi merupakan suatu tindak pidana yang diatur secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yaitu pada Pasal 346 KUHP yang menyatakan:[2]


“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam pidana penjara paling lama empat tahun.”


Dalam hal ini, KUHP sebagai aturan yang bersifat lex generalis dengan tegas menyatakan bahwa perbuatan aborsi adalah sesuatu yang dilarang, sehingga dapat diancam dengan Pasal 346 KUHP.[3] Dalam Pasal 346 KUHP, terdapat 3 (tiga) perbuatan yang dilarang, yaitu:

a. Menggugurkan kandungan

b. Mematikan kandungan

c. Menyuruh orang lain untuk menggugurkan kandungan


Adapun yang dimaksud dengan perbuatan menggugurkan kandungan yaitu melakukan suatu perbuatan memaksa dengan alat dan cara yang bagaimanapun sehingga mengakibatkan janin atau bayi tersebut keluar sebelum waktunya.[4] Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 346 KUHP sebagaimana yang disebutkan pada poin a memiliki arti yang berbeda dengan poin b, karena perbuatan menggugurkan kandungan seperti yang disebutkan pada poin a tidak mempersoalkan keadaan bayi pasca kelahiran paksa tersebut, apakah akan dengan nyawa yang masih hidup atau sudah tidak bernyawa (mati). Sedangkan pada poin b, yang dimaksud dengan mematikan kandungan adalah suatu perbuatan yang baik dengan alat atau cara yang bagaimanapun yang mengakibatkan matinya bayi atau janin yang ada dalam kandungan, mematikan disini berarti menghilangkan kehidupan yang ada dalam kandungan.[5] Unsur kesengajaan dalam perbuatan tersebut dapat ditemukan pada keadaan bayi atau janin sudah mati di rahim dalam masa kandungan. Artinya, bahwa perempuan itu menghendaki melakukan perbuatan-perbuatan itu terhadap kandungannya sendiri, dan ia menghendaki dan mengetahui bahwa dari perbuatannya atau perbuatan orang lain itu akan menimbulkan akibat gugurnya atau matinya kandungan itu.[6]


Selain perempuan yang melakukan tindakan aborsi terhadap dirinya tersebut dapat diancam dengan sanksi pidana, terdapat pihak-pihak lain juga yang dapat diancam dengan sanksi pidana sehubungan dengan tindakan aborsi tersebut, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 347 KUHP dan Pasal 348 KUHP, yang masing-masing menyatakan:


Pasal 347 KUHP:

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanpa tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”


Pasal 348 KUHP:

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanpa dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”


Lebih lanjut, terdapat dasar pemberatan pidana apabila tindakan aborsi tersebut dilakukan oleh seorang dokter, bidan atau juru obat, sebagaimana diatur dalam Pasal 349 KUHP yang menyatakan:

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.”


Pengecualian Larangan Aborsi Menurut Ketentuan Dalam UU Kesehatan

Tindakan aborsi merupakan suatu perbuatan yang dilarang, hal mana secara lex specialis diatur dalam Pasal 75 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).[7] Namun, indikasi medis yang dapat membahayakan ibu atau janin seperti pertanyaan yang diajukan oleh ANP, dapat termasuk dalam pengecualian dari Pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan jika indikasi medis tersebut tergolong sebagai indikasi medis yang bersifat darurat. Ketentuan pengecualian larangan tindakan aborsi diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan yang menyatakan:[8]


(2). Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang terdeteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.


Selanjutnya, Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan mengatur bahwa tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten yang berwenang.[9] Artinya, bagi seseorang yang telah terindikasi mengalami kedaruratan medis atau mengalami kehamilan akibat perkosaan yang mana merupakan alasan tanpa kesengajaan dan di luar kuasa/kendali dari orang tersebut, maka UU Kesehatan mengizinkan tindakan aborsi dilakukan selama orang tersebut telah mendapat konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan pasca tindakan dari konselor.


Berdasarkan penjelasan Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan, yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu, yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Hal ini menegaskan bahwa tindakan aborsi merupakan sebuah praktik medis yang harus dilaksanakan secara hati-hati oleh konselor yang telah terakreditasi profesional dibidangnya.


Perlu diperhatikan bahwa dalam Pasal 76 UU Kesehatan, diatur bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu, dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. oleh tenaga Kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.


Ancaman Pidana Bagi Pelaku Tindakan Aborsi Ilegal Berdasarkan UU Kesehatan

Secara a contrario, tindakan aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan dapat diartikan sebagai tindakan aborsi ilegal. Ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan tindakan aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi:[10]


“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah).”


Pasal 194 UU Kesehatan dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya.[11] Oleh karena itu, dokter dan/atau tenaga kesehatan bersama perempuan yang sengaja melakukan tindakan aborsi secara ilegal atau bertentangan dengan hukum positif yang berlaku, dapat dijerat dengan sanksi pidana sebagaimana dimuat dalam pasal a quo.


Kesimpulan

Secara lex generalis, Pasal 346, 347, 348 dan 349 KUHP mengatur ketentuan umum mengenai larangan tindakan aborsi, sedangkan secara lex spcecialis, tindakan aborsi tersebut diatur dalam UU Kesehatan. Berdasarkan asas hukum lex specialis derogat legi generali, maka ketentuan pengecualian tindakan aborsi dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan dapat mengesampingkan ketentuan larangan aborsi yang diatur secara umum (lex generalis) dalam KUHP.


Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis di atas, Penulis menjawab pertanyaan dari ANP bahwa tindakan aborsi yang disebabkan oleh adanya indikasi medis yang membahayakan ibu atau janin dapat diperbolehkan sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan yang mengatur ketentuan pengecualian dari larangan aborsi, yaitu apabila ada indikasi medis darurat dan/atau bahwa kehamilan tersebut merupakan hasil dari perkosaan.

Demikianlah hasil analisis kami, semoga bermanfaat.

*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.


Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut*

[1] Kusmayanto, SCJ., Kontroversi Aborsi, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002, hlm. 203.

[2] Pasal 346 KUHP

[3] Charles Situmorang, “Ketentuan Aborsi Bagi Korban Pemerkosaan” (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5a152c3faed27/ketentuan-aborsi-bagi-korban-pemerkosaan/) Diakses pada 17 Juli 2021 pukul 22.30)

[4] Srykurnia Andalagi, “Tindakan Aborsi Dengan Indikasi Medis Karena Terjadinya Kehamilan Akibat Perkosaan” Lex Crimen, Vol. IV No. 8, Oktober 2015, hal. 97.

[5] Adami Chazawi. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Raja Grafindo Persada. Jakarta 2001, hal. 115-116.

[6] Ibid, hal. 118.

[7] Pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan

[8] Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan

[9] Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan

[10] Pasal 194 UU Kesehatan

[11] Diana Kusumasari, “Ancaman Pidana Terhadap Pelaku Aborsi Ilegal” (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl840/penerapan-hukum-pidana-dalam-aborsi-ilegal), Diakses pada 18 Juli 2021 pukul 23.00).


Tags:

Recent Posts
Archive
bottom of page