Menelusuri Efektifitas Delik Aduan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)
Terima kasih atas pertanyaannya!
Pertanyaan yang diberikan oleh Saudara N merupakan permasalahan mengenai efektifitas penggunaan delik aduan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Kekerasan seksual dapat dialami oleh siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, gender, ras, etnis, agama, warna kulit, kewarganegaraan, dan usia. Tanpa disadari, kekerasan seksual menjadi salah satu kejahatan yang paling sering terjadi di tengah masyarakat. Apabila ditinjau lebih dalam, Komnas Perempuan (2023) menegaskan bahwa kekerasan seksual menimbulkan dampak berkepanjangan secara fisik, psikis, ekonomi (pemiskinan), relasi sosial dan keluarga korban, hingga politik. Dampak ini dapat mengurangi dan memengaruhi korban dalam penikmatan dan pemenuhan hak-hak asasinya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan kriminal yang bertentangan dengan perlindungan harkat dan martabat manusia sebagaimana telah terjamin dalam Pasal 28 G Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Berdasarkan laporan data yang diperoleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA), terdapat 10.879 kasus kekerasan seksual perempuan dan laki-laki yang berhasil tercatat di seluruh Indonesia dalam Periode 1 Januari 2024 sampai dengan 26 Juni 2024. Sayangnya, data tersebut tidak dapat mewakili kesesuaian fakta di lapangan karena masih banyak kekerasan seksual yang terjadi tetapi belum tercatat. Hal ini mencerminkan adanya kesenjangan dalam penanganan dan pelaporan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat.
Sistem hukum pidana mengklasifikasikan berbagai tindak pidana ke dalam dua jenis delik, yaitu delik biasa dan delik aduan. Pada delik biasa, proses hukum dapat dilakukan tanpa adanya laporan dari korban atau pihak yang dirugikan atas tindakan tersebut. Sementara itu, delik aduan dapat diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari korban atau pihak yang dirugikan. Maka dari itu, delik aduan dapat mengesampingkan sifat pidana selama korban tidak melaporkannya langsung ke aparat penegak hukum, yang mana negara tidak berwenang untuk menuntut pidana apabila korban kejahatan (yang berhak mengadu) tidak menyampaikan aduan. Menariknya, baik delik biasa dan delik aduan tersebut juga berlaku dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS mengkriminalisasikan beberapa perbuatan atau tindakan yang sebelumnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Terdapat 9 (sembilan) perbuatan yang termasuk ke dalam tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU a quo dan tindak pidana terkait dengan TPKS, yaitu tindak pidana menghalangi keadilan (obstruction of justice) TPKS sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU a quo, yang mana perbuatan-perbuatan tersebut dikualifikasikan ke dalam delik biasa dan delik aduan.
Perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam delik aduan adalah pelecehan seksual nonfisik (Pasal 5), pelecehan seksual fisik (Pasal 6), dan kekerasan seksual berbasis elektronik (Pasal 14). Sedangkan perbuatan yang termasuk ke dalam delik biasa adalah pemaksaan kontrasepsi (Pasal 8), pemaksaan sterilisasi (Pasal 9), pemaksaan perkawinan (Pasal 10), penyiksaan seksual (Pasal 11), eksploitasi seksual (Pasal 12), perbudakan seksual (Pasal 13), dan obstruction of justice. Pelecehan seksual nonfisik dikategorikan sebagai delik aduan. Akan tetapi, UU TPKS mengecualikan delik aduan ini untuk anak dan penyandang disabilitas sehingga pelecehan seksual nonfisik yang menimpa anak atau penyandang disabilitas adalah delik biasa. Sementara itu, tindak pidana pelecehan seksual fisik dikategorikan menjadi 3 (tiga), yakni:
(a) Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat;
(b) Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan; dan
(c) Setiap Orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbuatan yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain.
Pada intinya, pelecehan seksual fisik huruf a merupakan delik aduan, sedangkan pelecehan seksual fisik huruf b dan c merupakan delik biasa.
Adanya delik aduan dan delik biasa di dalam UU TPKS menjadi pembahasan yang menarik, terlebih apakah efektivitas delik aduan tersebut mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi korban kekerasan seksual atau tidak. Beberapa pihak berpendapat bahwa persyaratan aduan dapat menghambat akses korban untuk memperoleh keadilan, terutama dalam kasus di mana korban mungkin takut atau tidak mampu melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Hal tersebut menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan dan tidak diproses secara hukum. Sebaliknya, adanya delik aduan juga penting untuk memastikan bahwa tuduhan kekerasan seksual tidak disalahgunakan atau dipolitisasi sehingga penyidikan dapat lebih objektif dan meminimalisir potensi penyalahgunaan sistem hukum.
Sejatinya, penerapan prinsip delik aduan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah otoritas setiap individu atas tubuhnya masing-masing. Dalam hal ini, ketentuan penerapan delik aduan pelecehan seksual nonfisik dan fisik (Pasal 6 huruf a) bersifat subjektif. Kondisi ini terlihat ketika terjadi aktivitas seksual yang dilakukan atas persetujuan (consent) masing-masing pihak. Sebagai contoh, seorang wanita sedang menaiki angkutan umum dan seorang pria tiba-tiba meraba bagian tubuh pribadinya tanpa persetujuannya. Tindakan ini dilakukan dengan maksud merendahkan martabat wanita tersebut berdasarkan seksualitasnya. Dalam hal ini, wanita tersebut harus melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang agar proses hukum dapat dimulai karena kasus ini termasuk dalam kategori delik aduan. Akan tetapi, hal tersebut berbeda dengan sepasang pasangan yang sama-sama setuju untuk berhubungan badan. Hal tersebut menandakan bahwa aktivitas seksual tersebut tidak otomatis dikategorikan sebagai “kekerasan seksual” sehingga ada kalanya terjadi subjektivitas.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah mekanisme tersebut mencerminkan penegakan hukum dan HAM yang efektif? Sejatinya, keberhasilan delik aduan dalam UU TPKS ini sangat bergantung pada keberanian dan kesadaran korban untuk melaporkan kejadian yang mereka alami. Namun, ada kalanya korban tidak tahu bagaimana cara untuk melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya. Bahkan, penggunaan delik aduan seolah-olah mengimplikasikan bahwa tindak pidana kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang ringan. Maka dari itu, terdapat indikasi bahwa penerapan delik aduan mungkin tidak sepenuhnya efektif dalam menuntut pelaku kejahatan.
Efektivitas dari delik aduan ini memang masih bersifat abu-abu. Di satu sisi, delik aduan berfungsi untuk melindungi kepentingan korban, tetapi di sisi lain delik aduan dapat menyebabkan banyak pelaku kekerasan seksual bebas berkeliaran. Namun, pertimbangan frasa “delik aduan” pada tindakan kekerasan seksual sejatinya bertujuan untuk kepentingan korban. Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Nani Mulyati, jika kasus kekerasan seksual ditempuh melalui jalur hukum yang dalam dan panjang, hal ini berpotensi menimbulkan efek trauma berkepanjangan bagi korban. Selain itu, banyak korban kekerasan seksual seringkali mengalami victim blaming dari masyarakat yang menyebabkan korban merasa takut untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya, terutama khawatir mendapatkan stigma negatif di lingkungannya. Sesungguhnya, mekanisme delik aduan ini bertujuan untuk melindungi kehormatan dan privasi korban itu sendiri. Oleh sebab itu, dalam konteks efektivitas UU TPKS, tidak selalu terletak pada penegakan pidana melainkan perlindungan kepentingan korban. Selain itu, UU TPKS juga mengatur mengenai perlindungan kekerasan seksual pada kelompok disabilitas dan anak. Pasal 7 ayat (2) UU a quo menyatakan bahwa ketentuan delik aduan pada pelecehan seksual nonfisik (Pasal 5) dan pelecehan seksual fisik (Pasal 6 huruf a) tidak berlaku bagi korban anak dan penyandang disabilitas sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Pengecualian delik aduan terhadap korban anak dan penyandang disabilitas juga merupakan bentuk mitigasi tegas TPKS. Ketentuan ini memberikan perlindungan bagi kelompok rentan karena seringkali kelompok tersebut tidak memiliki kapabilitas untuk melapor kekerasan seksual yang dialami.
Demikian, salah satu aspek penting dari UU TPKS adalah penggunaan delik aduan yang mengharuskan adanya suatu bentuk pengaduan atau pelaporan dari korban kekerasan seksual kepada aparat penegak hukum untuk dimulainya penyidikan. Penerapan delik aduan, baik dalam bentuk kekerasan non fisik, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual berbasis elektronik, mencerminkan upaya untuk melindungi privasi dan kehendak korban yang tidak ingin mempublikasikan pengalaman traumatis mereka serta menghadapi proses hukum yang panjang dan melelahkan. Dengan delik aduan, korban memiliki kontrol lebih besar atas situasi yang dialami maupun memutuskan kapan dan bagaimana korban ingin melaporkan tindak kekerasan seksual.
Selain itu, pengecualian delik aduan bagi anak-anak dan penyandang disabilitas yang menjadi korban membuktikan UU TPKS mengadopsi pendekatan yang lebih berorientasi pada korban. Hal ini menunjukkan perlindungan yang lebih komprehensif dan inklusif dalam sistem hukum Indonesia. Dengan mengecualikan delik aduan bagi kelompok rentan, UU TPKS memastikan bahwa proses hukum dapat dimulai dan berjalan demi kepentingan korban tanpa harus membebani korban dengan kewajiban melapor.
Oleh karena itu, secara keseluruhan, efektivitas UU TPKS dengan sistem delik aduannya dinilai baik karena menjunjung kepentingan kehendak, privasi, dan diri korban. Delik aduan dapat membuat korban merasa lebih aman untuk melapor karena mereka memiliki kendali atas proses hukum. Delik aduan dalam UU TPKS juga mencoba menciptakan keseimbangan antara pelindungan korban dan pencegahan penyalahgunaan hukum, meskipun tantangan dalam penerapannya tetap ada. Kekhawatiran korban terhadap stigma sosial dan victim blaming dalam melaporkan kasus menjadi tantangan tersendiri dalam delik aduan. Maka daripada itu, pelaksanaan delik aduan dalam UU TPKS tetap harus memerlukan evaluasi secara berkelanjutan agar dapat terus berjalan efektif.
Demikian hasil analisis kami semoga dapat tercerahkan.
*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.
Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut.
*Jawaban kami telah mendapat review oleh Diantika Rindam Floranti, S.H., LL.M. (Departemen Hukum Pidana FH UGM)
Daftar Pustaka:
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Buku
Asfinawati, dkk. Pedoman Pemaknaan Pasal Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), 2024.
Jurnal
Faisal, Faisal, dkk. “Perempuan Sebagai Korban Kekerasan Seksual: Apakah Hukum Sudah Cukup Memberikan Keadilan?” Jurnal Hukum dan Pembangunan 53, no. 1 (2023): 1–11. https://doi.org/10.21143/jhp.vol53.no1.1001.
Arafat, Yasser. “Penyelesaian Perkara Delik Aduan Dengan Perspektif Restorative Justice.” Borneo Law Review 1, no. 2 (2017): 127-145. https://doi.org/10.35334/bolrev.v1i2.714.
Maspaitella, dkk. “Aktualisasi Penegakan Hukum dan HAM: Dualisme Penuntasan Perkara Kekerasan Seksual Non Fisik.” Jurnal Ledhak Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 1, no. 1 (2023): 1–9.
Lainnya
Siti Aminah Tardi, dkk. "#kawalsetelahlegal: Pengantar Memahami UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual." Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), 2023. https://komnasperempuan.go.id/download-file/1040.
Luki dan Arsa Ilmi Budiarti. "Sulitnya Percaya Laki-Laki Bisa Jadi Korban: Fenomena Kekerasan Seksual terhadap Laki-Laki beserta Dampak dan Respon Lingkungan Sekitar." Indonesia Judicial Research Society, 28 November 28 2023. https://ijrs.or.id/2023/11/28/sulitnya-percaya-laki-laki-bisa-jadi-korban-fenomena-kekerasan-seksual-terhadap-laki-laki-beserta-dampak-dan-respon-lingkungan-sekitar/.
Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Peluncuran Catatan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2023. “Momentum Perubahan: Peluang Penguatan Sistem Penyikapan di Tengah Peningkatan Kompleksitas Kekerasan terhadap Perempuan.” Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), 7 Maret 2024. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-peluncuran-catatan-tahunan-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2023.
Gema Justicia. “Pelecehan Seksual Delik Biasa atau Delik Aduan?” Lembaga Pers Mahasiswa Gema Justicia, 10 Maret 2023. https://www.lpm-gemajustisia.com/artikel/pelecehan-seksual-delik-biasa-atau-delik-aduan.
Comments