top of page

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual pada Praktik Reverse Engineering

ALA #4 is in collaboration with Harvardy, Marieta & Mauren Attorneys at Law



Pertanyaan:

Apabila kita membeli sebuah produk dari suatu brand perusahaan dan kemudian kita melakukan reverse engineering ke produk tersebut dengan tujuan untuk melakukan produksi produk serupa dengan melakukan beberapa penyesuaian spesifikasi dan pada akhirnya dikomersilkan, apakah hal tersebut dapat melanggar HAKI produk sebelumnya?

Terima kasih EJ atas pertanyaannya!

Sebelum menjawab pertanyaan dari EJ, harus diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan reverse engineering. Secara umum, reverse engineering atau rekayasa ulang merupakan proses pembongkaran suatu perangkat untuk memperoleh informasi mengenai prinsip teknologi yang berlaku, sistem yang bekerja melalui analisis struktur, dan fungsi maupun cara kerja dari perangkat tersebut.[1] Pada penjelasan Pasal 15 huruf (b) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (UU 30/2000), reverse engineering diartikan sebagai suatu tindakan analisis dan evaluasi untuk mengetahui informasi tentang suatu teknologi yang sudah ada.[2] Oleh karena EJ tidak menjelaskan secara rinci produk atau objek apa yang akan dilakukan reverse engineering, maka pembahasan kami di sini adalah reverse engineering terhadap produk atau objek secara umum tanpa secara spesifik mengarah pada suatu produk atau objek tertentu. Selanjutnya, Penulis akan menjawab bagaimana hukum terhadap praktik reverse engineering berdasarkan hukum positif Indonesia.


Langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi mengenai jenis atau lingkup dari merek tersebut, apakah itu merupakan sebuah merek dagang atau merek jasa? Jika mengacu pada pertanyaan EJ, bahwa produk dari merek tersebut dibeli untuk dilakukan reverse engineering dengan tujuan untuk dikomersilkan atau dijual kembali, maka penulis mengasumsikan bahwa produk tersebut memiliki merek dagang yang tertera padanya. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU 20/2016), Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya.[3] Terhadap produk tersebut, terdapat 2 (dua) jenis kekayaan intelektual yang mungkin melekat padanya, yaitu Paten dan/atau Rahasia Dagang . Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah tindakan reverse engineering melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HKI) produk sebelumnya, harus dipastikan terlebih dahulu apakah produk tersebut sudah dilindungi melalui Paten atau Rahasia Dagang. [FSS1] [HMM2]

Perlindungan Berdasarkan Paten

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.[4] Dalam konteks paten, konsep yang digunakan adalah first to file, hal mana pemegang hak paten baru dilindungi apabila paten miliknya tersebut terdaftar. Lebih lanjut, Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 13/2016) mengatur bahwa jangka waktu perlindungan paten adalah 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan tidak dapat diperpanjang. Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan tindakan berikut:[5]

  1. dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;

  2. dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Berdasarkan ketentuan di atas, tindakan reverse engineering dengan tujuan komersialisasi termasuk dalam jenis paten-proses. Apabila proses pembuatan produk sudah memiliki atau telah terdaftar paten, maka tindakan reverse engineering oleh pihak lain tanpa persetujuan pemegang paten dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak pemegang paten.


Selanjutnya, Penulis akan menjelaskan terkait dengan penyesuaian spesifikasi pada suatu produk. Penyesuaian spesifikasi merupakan suatu langkah untuk membuat perbedaan antara produk yang dirancang ulang dengan produk sebelumnya dalam rangka penyempurnaan fungsi suatu produk. Agar suatu produk dapat diberikan hak paten, produk tersebut harus memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam UU 13/2016, yaitu:


1. Invensi yang baru

Invensi yang baru berarti invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang pernah diungkap atau didaftarkan sebelumnya.[6] Lebih lanjut, makna “tidak sama” adalah bukan sekadar beda, tetapi harus dilihat sama atau tidak sama dari fungsi ciri teknis (features) invensi tersebut dibanding fungsi ciri teknis invensi sebelumnya.[7] Padanan istilah teknologi yang diungkapkan sebelumnya adalah state of the art atau prior art, yang mencakup literatur paten dan bukan literatur paten.[8]


2. Mengandung langkah inventif.

Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.[9]


3. Dapat diterapkan dalam industri.

Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana diuraikan dalam Permohonan.[10]


Apabila produk yang telah disesuaikan spesifikasinya memenuhi kriteria tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa produk tersebut merupakan penemuan yang dapat diberikan hak paten. Namun, apabila tidak memenuhi kriteria di atas, maka produk tersebut tidak dapat diberikan hak paten dan penggunaannya dibatasi oleh produk serupa yang telah memiliki hak paten.

Perlindungan Berdasarkan Rahasia Dagang

Rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.[11] Berbeda dengan hak paten, konsep yang digunakan pada rahasia dagang adalah first to use, yang berarti pemegang rahasia dagang sudah dilindungi ketika ia mengetahui rahasia dagang tersebut. Suatu produk memiliki hak rahasia dagang apabila telah memenuhi kriteria sebagaimana diatur pada Pasal 3 UU 30/2000, yaitu:

(1) Rahasia Dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya.

(2) Informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.

(3) Informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi.

(4) Informasi dianggap dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.

Jika produk dengan Merek Dagang yang dimaksud memenuhi ketentuan Pasal 3 UU 30/2000, maka Hak Rahasia Dagang muncul dan melekat pada produk tersebut. Pasal 15 huruf b UU 30/2000 menegaskan bahwa tindakan reverse engineering diperbolehkan sepanjang hanya diperuntukkan bagi kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan, hal mana tindakan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran Rahasia Dagang. Namun, pemegang Rahasia Dagang tetap memiliki hak untuk memberikan lisensi kepada pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.[12]

Selanjutnya, perlu diperhatikan pula bahwa titik berat dari rahasia dagang adalah "informasi yang bersifat rahasia", hal mana hanya diketahui oleh pihak tertentu. Dalam hal suatu pihak melakukan penyesuaian spesifikasi atau reverse engineering terhadap produk milik pihak lain, hal mana pemilik produk awal tersebut tidak mengetahui mengenai hasil penyesuaian spesifikasi atau reverse engineering tersebut, maka Penulis berpendapat bahwa produk tersebut dapat dianggap sebagai produk yang baru. Pendapat tersebut didasarkan pada syarat adanya suatu rahasia dagang adalah hanya diketahui oleh pihak tertentu. Namun, oleh karena konsep perlindungan rahasia dagang adalah first to use, maka apabila pemilik produk awal merasa terdapat pelanggaran terhadap rahasia dagangnya, ia dapat mengajukan upaya hukum perdata maupun pidana terhadap orang yang melakukan penyesuaian spesifikasi tanpa persetujuan dari pemilik produk awal, dengan catatan ia dapat membuktikan adanya pelanggaran tersebut dan produk hasil spesifikasi tersebut dikomersilkan dan bukan untuk pengembangan lebih lanjut atas produk tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa tindakan reverse engineering terhadap suatu produk yang telah memiliki Hak Rahasia Dagang dengan tujuan akhir komersialisasi produk diperbolehkan sepanjang pihak yang bersangkutan telah mendapatkan persetujuan atau lisensi dari pemegang Hak Rahasia Dagang. Apabila tidak mendapatkan persetujuan atau lisensi dari pemegang Hak Rahasia Dagang, maka tindakan reverse engineering dengan tujuan komersialisasi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Rahasia Dagang.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tindakan pertama yang perlu dilakukan adalah memastikan jenis HKI yang melekat pada produk terkait. Apabila dalam produk tersebut terdapat Hak Paten, maka tindakan reverse engineering untuk tujuan komersialisasi hanya dapat diperbolehkan apabila mendapatkan persetujuan dari pemegang hak paten. Penyesuaian spesifikasi baru dapat dikatakan sebagai invensi baru apabila memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam UU 13/2016. Sementara itu, apabila dalam produk tersebut terdapat Hak Rahasia Dagang, maka tindakan reverse engineering untuk tujuan komersialisasi hanya dapat diperbolehkan apabila mendapat persetujuan atau lisensi dari pemegang Hak Rahasia Dagang. Jika tidak, maka tindakan reverse engineering dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap Hak Rahasia Dagang

Demikian hasil analisis dan pembahasan kami, semoga bermanfaat.

*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.

Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut*




[1] Ben Lutkevich, ‘Reverse Engineering’ (TechTarget, June 2021) <https://searchsoftwarequality.techtarget.com/definition/reverse-engineering>

[2] Pasal 15 UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

[3] Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

[4] Pasal 1 angka 1 UU 13/2016.

[5] Pasal 19 ayat (1) UU 13/2016.

[6] Pasal 5 ayat (1) UU 13/2016.

[7] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 13/2016.

[8] Ibid.

[9] Pasal 7 ayat (1) UU 13/2016.

[10] Pasal 8 UU 13/2016.

[11] Pasal 1 UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

[12] Pasal 4 huruf b UU 30/2000.




Tags:

Recent Posts
Archive
bottom of page