top of page

Permasalahan Regulasi PKWT dalam UU Cipta Kerja yang Dapat Merugikan Tenaga Kerja

Updated: Jul 14, 2024

Terima kasih atas pertanyaannya! 

Pertanyaan yang diberikan oleh Saudara N merupakan permasalahan mengenai regulasi PKWT dalam UU Cipta Kerja yang dapat merugikan tenaga kerja.


Pemerintah Indonesia telah mengatur dan melindungi hak-hak tenaga kerja melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Sebagai contoh, Pasal 79 Ayat (2) huruf a Undang Undang a quo menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak atas istirahat kerja minimal 30 menit setiap 4 jam kerja. Namun demikian, pemerintah telah melakukan pembaruan hukum ketenagakerjaan menggunakan pendekatan omnibus law berupa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).


Sejak awal dirancang, UU Cipta Kerja mendapatkan kritik dari berbagai akademisi karena dinilai merugikan kalangan tenaga kerja. Padahal, regulasi tersebut dirancang untuk melindungi hak-hak tenaga kerja. Hal ini terlihat pada Pasal 56 UU Cipta Kerja yang mengubah masa kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi 5 (lima) tahun yang sebelumnya 3 (tiga) tahun, serta Pasal 59 UU Cipta Kerja yang menghapus aturan jangka waktu PKWT. Perubahan-perubahan ini berpotensi mengundang permasalahan, di antaranya dalam hal peluang karyawan tidak tetap untuk menjadi karyawan tetap dan risiko terjadinya tindakan semena-mena oleh pihak perusahaan. Apalagi dengan mendasarkan pada Pasal 28D Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan ini mengimplikasikan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas kondisi bekerja yang optimal. 


Memahami PKWT

Sebelum menganalisis permasalahan pada PKWT, perlu diketahui bahwa Indonesia membedakan jenis perjanjian kerja dalam 2 (dua) kategori, yakni Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Sederhananya, PKWT dapat dikatakan sebagai kontrak kerja bagi karyawan tidak tetap, sedangkan PKWTT merupakan kontrak kerja bagi karyawan tetap perusahaan yang memiliki hubungan kerja jangka panjang serta berhak atas jaminan dan perlindungan pekerjaan.


Dalam menjawab permasalahan ini, kami akan merujuk pada ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), serta Pasal 56 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang sepatutnya menjamin kesamaan kesempatan kerja serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan tenaga kerja di Indonesia. Selain itu, kami juga merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), Pasal 61A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (UU Cipta Kerja 2023), Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK, serta Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-100/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.


UU Cipta Kerja pada dasarnya mengusung semangat fleksibilitas terhadap para tenaga kerja. Sayangnya, janji akan fleksibilitas tenaga kerja merupakan kenikmatan semata bagi pengusaha tanpa adanya perlindungan yang memadai bagi para tenaga kerja. Hal ini semakin memperburuk posisi dan keadaan tenaga kerja yang terus disandingkan dengan pesatnya perkembangan teknologi, yang mana turut mengotomatisasi kegiatan produksi usaha, serta kebijakan yang memungkinkan tenaga kerja untuk dipekerjakan sekaligus diberhentikan secara mudah. Sebagaimana negara menjamin hak warga negara pada Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945, hak atas pekerjaan dipandang sebagai suatu kebutuhan yang fundamental, tetapi mempunyai “pekerjaan” saja tidaklah cukup. Dalam hemat pemerintah, seseorang dikategorikan sebagai tenaga kerja ketika ia terikat dalam suatu hubungan kerja, terlepas sifatnya tetap ataupun tidak. Hal inilah yang kemudian memunculkan suatu konstruksi pasar dengan PKWT dan PKWTT yang menjadi isu hubungan industrial yang berkelanjutan di Indonesia. 


PKWT dan PKWTT memerlukan treatment berbeda, di mana hubungan kerja dalam PKWT yang lebih fleksibel sering kali memperburuk eksploitasi dan menurunkan produktivitas tenaga kerja karena karyawan merasa tidak aman dengan ketidakpastian akhir masa kerja mereka. Di sisi lain, PKWTT yang menawarkan kestabilan lebih besar dengan status karyawan tetap, mencerminkan perlindungan yang lebih baik bagi tenaga kerja. Adanya perbedaan waktu kerja tersebut harus disertai dengan upaya untuk memperkuat perlindungan bagi tenaga kerja. Hal ini penting karena tanpa perlindungan yang cukup, kebebasan berkontrak hanya akan menjadi alat bagi pengusaha untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Adanya realitas dalam masyarakat yang sering dihadapkan pada masalah ekonomi, membuat kesempatan untuk memperoleh pekerjaan menjadi posisi tawar yang lemah. Maka dari itu, pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan kepastian dan jaminan perlindungan kepada tenaga kerja, terutama dengan adanya kerangka subordinat dalam ketenagakerjaan.


Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-100/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu mendefinisikan PKWT sebagai perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan tenaga kerja dalam melangsungkan hubungan kerja pada periode yang spesifik maupun untuk tanggung jawab tertentu. Perjanjian kerja dalam bentuk PKWT sendiri sudah diatur di Indonesia selama lebih dari 2 (dua) dekade melalui UU Ketenagakerjaan yang lahir pada tahun 2003. UU a quo menegaskan bahwa PKWT didasarkan atas adanya jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa PKWT dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, sehingga secara keseluruhan jangka waktu paling lama selama adalah 3 (tiga) tahun. Namun, ketentuan jangka waktu PKWT tersebut tidak lagi berlaku semenjak hadirnya UU Cipta Kerja. 


Aturan Baru yang Merugikan

UU Cipta Kerja menambahkan ketentuan pada Pasal 56, yaitu ayat (3) yang menyatakan bahwa jangka waktu atau selesainya perjanjian kerja waktu tertentu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. Selain itu, Pasal 59 UU Cipta Kerja menghapus ketentuan jangka waktu tertentu dari PKWT. Dalam hal ini, pasal a quo berpotensi untuk memberikan celah bagi pengusaha dalam memperpanjang kontrak PKWT dengan tenaga kerja sewenangnya akibat tidak adanya batas waktu dan ketentuan berapa kali PKWT dapat diperpanjang. Bahkan, hal ini memungkinkan kontrak kerja tenaga kerja lanjut usia terus diperpanjang hingga menjadi pegawai tetap. Hal tersebut tentunya sangat rawan terjadi akibat posisi tenaga kerja yang lebih rentan dibandingkan dengan pengusaha yang lebih berkuasa. Dengan demikian, ketentuan Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 59 UU Cipta Kerja dinilai dapat merugikan para tenaga kerja yang terikat dalam PKWT dan memperbesar celah terjadinya eksploitasi tenaga kerja.


Akan tetapi,  Pasal 56 UU Cipta Kerja harus dibaca secara utuh, termasuk peraturan pelaksana dari pasal yang dimaksud. Ayat (4) pasal a quo menegaskan ketentuan terkait jangka waktu atau selesainya pekerjaan tertentu dalam PKWT, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK.  Pasal 8 PP a quo telah memberikan batasan rigid bahwa PKWT dibuat untuk paling lama 5 (lima) tahun serta dapat diperpanjang tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Dengan demikian, ketentuan mengenai jangka waktu dan hal lainnya mengenai PKWT yang dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja tidak dapat menyampingkan batasan yang telah ditetapkan dalam PP Nomor 35 Tahun 2021. Selain itu, terdapat aturan pemberian uang kompensasi yang wajib diberikan oleh pengusaha atau pemberi kerja kepada tenaga kerja pada saat berakhirnya hubungan kerja. Hak untuk mendapatkan kompensasi ini terakomodir dalam Pasal 61A UU No 6 Tahun 2023 (UU Cipta Kerja 2023). 


Rencana Perbaikan

Demikian, ketentuan dalam UU Cipta Kerja masih menghadirkan celah bagi pengusaha untuk memperpanjang kontrak PKWT secara sewenang-wenang karena tidak ada lagi batas waktu yang jelas dalam undang-undang tersebut. Hal ini dapat memicu eksploitasi terhadap tenaga kerja, terutama yang berada dalam posisi yang lebih lemah dan rentan. Oleh karena itu, perlu adanya penyesuaian antara UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya agar tidak menimbulkan kesenjangan interpretasi dan kerugian bagi tenaga kerja.


Pelaksanaan PKWT sepatutnya memperhatikan rincian hak dan kewajiban yang dimuat dalam perjanjian kerja tersebut dan memastikan kesesuaiannya dengan ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari kesalahpahaman di kemudian hari. Dalam hal ini, PKWT harus mencantumkan kapan waktu kerja dimulai, saat berlangsungnya kerja, waktu istirahat serta kapan pekerjaan yang diperjanjikan akan berakhir. Kurangnya pemahaman mengenai regulasi ketenagakerjaan seringkali menghambat aktualisasi pelindungan terhadap tenaga kerja. Pemberi kerja sudah sepatutnya memiliki tanggung jawab untuk memastikan pemenuhan hak-hak tenaga kerja sebagai balas jasa yang seimbang, terutama bagi tenaga kerja yang memiliki status PKWT yang rentan untuk  mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam hal ini, kompensasi yang diberikan kepada tenaga kerja saat hubungan kerja berakhir harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap aspek-aspek ketenagakerjaan sepanjang siklus hubungan kerja, mulai dari sebelum, selama, hingga setelah hubungan kerja berakhir.


Demikian hasil analisis kami semoga dapat tercerahkan.


*Jawaban pertanyaan ALSA Legal Assistance ini tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. ALSA Legal Assistance dan ALSA LC UGM tidak dapat digugat maupun dituntut atas segala pernyataan, kekeliruan, ketidaktepatan, atau kekurangan dalam setiap konten yang disampaikan dalam laman ALSA Legal Assistance.


Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian pada bidang tersebut.


*Jawaban kami telah mendapat review oleh Umar Mubdi, S.H., M.A.


Daftar Pustaka:


Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-100/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 


Jurnal

Septiyani. "Suatu Analisis tentang Perbandingan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," Trijurnal 6, No. 1 (2023): 45–53.

Sunarno. "Beberapa Masalah pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Solusinya," Wacana Hukum 8, No. 2 (2009): 19-32.

Agishintya, Chika dan Siti Hajati Hoesin. “Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Yang Tidak Dicatatkan,” Jurnal Ilmiah Universitas Semarang 12, no. 1 (2022): 125–139. 


Lainnya

Sahbani, Agus. “Menguji Konstitusionalitas Batas Waktu PKWT dalam UU Cipta Kerja.” Hukum Online, 20 Juni 2023. https://www.hukumonline.com/berita/a/menguji-konstitusionalitas-batas-waktu-pkwt-dalam-uu-cipta-kerja-lt6491890f0fb70/#

Mahkamah Konstitusi RI. “Ahli Jelaskan Perbedaan Hukum Pekerja dengan PKWT dan PKWTT dalam UU Cipta Kerja.” 26 Februari 2024. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=20058&menu=2

Mahkamah Konstitusi RI, “Ahli Pemerintah Bahas Batas PKWT dalam UU Cipta Kerja.”  22 November 2023. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19797&menu=2#:~:text=Bahkan%20d





Comments


Recent Posts
Archive
Lambang UGM-putih.png
  • Instagram
  • Facebook
  • X
  • Youtube
  • LinkedIn
  • TikTok
  • Spotify

Faculty of Law Universitas Gadjah Mada | Jl. Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Sleman, DI Yogyakarta, Republic of Indonesia 55281

Copyright © 2024 Asian Law Students' Association Local Chapter Universitas Gadjah Mada. All Logos & Trademarks are the property of their respective holders.

All Rights Reserved. All Systems Operational.

bottom of page